
Perubahan Struktural di Kementerian Keuangan
Kementerian Keuangan (Kemkeu) kini tidak lagi hanya berperan sebagai "Bendahara Negara", tetapi telah memasuki era baru dengan adanya tiga unit baru yang diberikan wewenang untuk mengembangkan strategi fiskal dan stabilitas keuangan. Tiga mesin tersebut adalah Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF), Direktorat Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan (DJSPSK), serta Badan Teknologi, Informasi, dan Intelijen Keuangan (BTIIK). Dengan perubahan ini, Kemkeu diharapkan mampu menjadi arsitek kebijakan fiskal, penjaga stabilitas keuangan secara proaktif, serta gudang intelijen data negara yang beroperasi 24 jam setiap hari.
Dasar Hukum yang Kuat
Arsitektur perubahan ini didasarkan pada fondasi hukum yang kuat, termasuk UUD 1945 pasal 17, 23, dan 23D; Peraturan Presiden nomor 140 tahun 2024 yang menata kabinet; serta Peraturan Menteri Keuangan nomor 124 tahun 2024 yang menjelaskan organisasi dan tata kerja hingga tingkat eselon bawah. Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), menyatakan bahwa kedaulatan fiskal harus berbasis data, integrasi pengawasan, dan disiplin kebijakan. Hal ini menegaskan bahwa perubahan struktural bukanlah sekadar formalitas, melainkan langkah penting dalam memperkuat sistem keuangan negara.
Masalah yang Diangkat oleh BPK
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) secara konsisten menemukan kelemahan dalam sistem keuangan yang menjadi alasan utama lahirnya tiga badan baru ini. Beberapa masalah yang terungkap antara lain:
- Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC): Pengendalian pemusnahan sisa pita cukai nonaktif masih kurang memadai, sehingga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan.
- Direktorat Jenderal Pajak (DJP): Masalah kualitas data perpajakan, termasuk PPN DTP dan integrasi lintas sistem, masih menjadi pekerjaan rumah besar.
- Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb): Pola penyerapan anggaran yang menumpuk di akhir tahun menunjukkan perencanaan yang tidak tajam.
- Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN): Pencatatan aset negara yang tidak akurat, pemanfaatan yang tidak optimal, serta pemindahtanganan barang milik negara yang rawan merugikan negara.
Peran DJSEF, DJSPSK, dan BTIIK
Menurut IAW, tiga badan baru ini seharusnya menjadi solusi struktural untuk mengatasi masalah yang selama ini muncul. DJSPSK, misalnya, idealnya bertindak sebagai pengawas risiko sistemik di sektor keuangan. Namun, sayangnya, tiga kursi puncak tersebut kini dipegang oleh figur lama seperti Febrio Nathan Kacaribu di DJSEF, Masyita Crystallin di DJSPSK, dan Suryo Utomo di BTIIK. Menurut IAW, DNA yang dibutuhkan saat ini adalah kemampuan arsitek, bukan operator.
Langkah yang Harus Dilakukan
Untuk mencapai tujuan reformasi, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa harus berani menyelaraskan komando puncak dengan visi baru. Beberapa langkah yang direkomendasikan antara lain:
- Mengunci model operasional dan metrik kerja.
- Mengeluarkan keputusan yang merinci rantai komando DJSEF, DJSPSK, dan BTIIK.
- Menetapkan standar pengukuran dampak kebijakan (policy impact assessment).
- Membuat perjanjian layanan pertukaran data (Service Level Agreement/SLA) antar-otoritas seperti Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Selain itu, IAW menyarankan agar BTIIK dipimpin oleh pakar IT/data dan intelijen keuangan dengan keahlian dalam AML/CFT, keamanan siber, dan analitik berbasis AI. Dengan demikian, tiga badan baru ini dapat menjadi akselerator sesuai harapan Presiden Prabowo, bukan sekadar lembaga kosmetik.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!