
Fenomena Mafia Sertifikasi yang Mengancam Kualitas Tenaga Kesehatan
Dalam era globalisasi yang menuntut kompetensi tinggi, pelatihan dan sertifikasi menjadi hal penting bagi para profesional, khususnya tenaga kesehatan. Namun, ketika instrumen ini berubah menjadi ajang bisnis dan pemerasan, maka bangsa bukan hanya dirugikan, melainkan dilecehkan.
Baru-baru ini, publik dihebohkan dengan kasus yang melibatkan Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer Gerungan alias Noel, yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus pemerasan terkait sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Tarif resmi sertifikasi hanya sebesar Rp275 ribu, namun di lapangan masyarakat dipaksa membayar hingga Rp6 juta karena adanya praktik “uang pelicin”. Kerugian negara mencapai Rp81 miliar, dengan Noel diduga menerima sekitar Rp3 miliar hanya dalam hitungan bulan. Praktik ini berlangsung selama bertahun-tahun (2019–2025) dan melibatkan sekitar 80 Perusahaan Jasa K3 (PJK3).
Skandal ini menguatkan indikasi adanya mafia sertifikasi, di mana regulasi dijadikan alat pemerasan alih-alih pemberdayaan. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada sektor ketenagakerjaan, tetapi juga melibatkan dunia kesehatan. Tenaga medis dan tenaga kesehatan pun menghadapi biaya yang sangat tinggi untuk mendapatkan legalitas profesinya. Berikut beberapa contoh sertifikasi yang membebani tenaga kesehatan:
-
Sertifikasi APN (Asuhan Persalinan Normal) untuk Bidan
Biaya mencapai Rp3–5 juta. Sertifikasi ini wajib bagi bidan praktik mandiri, sehingga banyak bidan desa kesulitan menanggung biaya, terutama yang baru lulus. -
Sertifikasi ACLS (Advanced Cardiac Life Support) untuk Dokter/Perawat
Biayanya Rp3,5–6 juta per peserta, menjadi syarat kerja di rumah sakit rujukan maupun unit gawat darurat. -
Sertifikasi ICU & NICU (Intensive Care Unit / Neonatal Intensive Care Unit)
Wajib bagi tenaga medis di ruang kritis, dengan biaya Rp4–7 juta di luar akomodasi dan transportasi. -
Sertifikasi PPGD/BTCLS (Basic Trauma Cardiac Life Support)
Dikenakan Rp2–4 juta, padahal menjadi syarat utama perawat di instalasi gawat darurat. -
Sertifikasi Manajemen Laktasi
Biaya Rp2–3 juta, menjadi hambatan bagi bidan dan perawat di daerah yang justru sangat membutuhkan kompetensi ini.
Semua sertifikasi ini sejatinya penting untuk menjaga mutu layanan kesehatan. Namun ketika biaya dibiarkan tanpa regulasi yang jelas, sertifikasi berubah menjadi komoditas bisnis segelintir lembaga, bukan lagi instrumen peningkatan kompetensi nakes.
Beban Nakes, Dampak ke Masyarakat
Pelatihan dan sertifikasi yang seharusnya memberdayakan justru berubah menjadi ajang pemerasan. Negara terkesan abai terhadap penderitaan tenaga kesehatan, khususnya mereka yang bertugas di pelosok dengan penghasilan terbatas. Akibat biaya sertifikasi yang tinggi, ada dua kemungkinan:
- Nakes tidak mampu melanjutkan karier karena terbentur biaya.
- Nakes terpaksa membebankan biaya lebih tinggi kepada masyarakat.
Keduanya jelas merugikan publik dan menurunkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan berkualitas. Kasus mafia sertifikasi K3 harus menjadi cermin bagi sektor kesehatan. Jika dalam satu bidang saja kerugian bisa mencapai Rp81 miliar, bagaimana dengan sertifikasi di dunia kesehatan yang jauh lebih luas dan vital?
Langkah yang Harus Dilakukan Pemerintah
Pemerintah perlu segera melakukan langkah-langkah berikut:
- Menetapkan standardisasi biaya sertifikasi secara nasional.
- Memberikan subsidi sertifikasi bagi nakes di daerah terpencil.
- Mengawasi ketat lembaga pelatihan agar tidak bermain harga.
- Melakukan digitalisasi proses sertifikasi untuk memutus rantai birokrasi dan calo.
Masyarakat dan organisasi seperti PMII menolak logika negara yang menjadikan sertifikasi sebagai “mesin kasir” alih-alih “pintu peningkatan kualitas.” Sertifikasi harus kembali pada tujuan mulianya: memastikan kompetensi tanpa membebani. Kami menyerukan agar pemerintah menegakkan transparansi, menurunkan biaya sertifikasi, dan menjamin akses yang adil bagi seluruh tenaga kesehatan. Hanya dengan cara itu, pelayanan kesehatan bisa tetap berfokus pada manusia—bukan pada pungutan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!