
Kondisi Ekonomi Indonesia yang Tidak Seimbang
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan bahwa mesin ekonomi Indonesia dalam 20 tahun terakhir mengalami ketidakseimbangan. Ia membandingkan situasi pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya, pertumbuhan ekonomi tidak sejalan dengan kebutuhan sektor swasta maupun pemerintah.
Dalam acara Great Lecture Transformasi Ekonomi Nasional: Pertumbuhan yang Inklusif Menuju 8% di Jakarta, ia menjelaskan bahwa selama 20 tahun terakhir, ekonomi Indonesia hanya berkembang secara satu arah. "Satu jalan sana swasta, di sini satu jalan hanya pemerintah," ujarnya.
Era SBY: Dominasi Sektor Swasta
Purbaya menilai bahwa pada era SBY, pertumbuhan ekonomi mencapai rata-rata di atas 5 persen atau mendekati 6 persen. Hal ini didorong oleh sektor swasta yang aktif dan berperan besar dalam pembangunan. Ia mencontohkan bahwa pada masa itu, pertumbuhan kredit mencapai 21 persen dan laju uang beredar (M0) sebesar 17 persen.
"Zaman Pak SBY bangun infrastruktur sedikit, tapi pertumbuhan ekonominya mendekati 5 persen rata-rata. Pertumbuhan kreditnya 21 persen, M0-nya 17 persen," kata dia.
Era Jokowi: Dominasi Pemerintah
Kondisi berbeda terjadi saat Jokowi memimpin. Meskipun pembangunan infrastruktur dilakukan secara masif, sektor swasta justru melambat. Pertumbuhan ekonomi hanya mendekati 5 persen, dengan laju M0 rata-rata tumbuh 7 persen dan sempat turun hingga mendekati nol persen. Pertumbuhan kredit perbankan juga di bawah 10 persen.
"Dia bangun infrastruktur sebanyak apapun hanya mengerakkan government sector, private sectornya lambat atau berhenti makanya tumbuhnya hanya di bawah 5 persen," ujarnya.
Selain itu, rasio utang pemerintah pada masa Jokowi lebih tinggi, yaitu rata-rata 34,31 persen dari produk domestik bruto (PDB), dibandingkan era SBY yang sebesar 31,65 persen dari PDB.
Dana Mengendap di Bank Indonesia
Purbaya juga menyoroti kebiasaan pemerintah menaruh dana di Bank Indonesia (BI). Nilainya sempat mencapai Rp 800 triliun. Padahal, dana tersebut berasal dari utang dengan bunga sekitar 7 persen.
"Itu efisien atau enggak? Saya enggak tahu. Tapi dari situ aja ada pemborosan, ditambah dari tadi dengan uang ditarik dari sistem. Jadi kita punya dosa yang cukup besar juga," ujarnya.
Ia juga menyebut BI ikut mengeringkan likuiditas lewat penerbitan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Akibatnya, angka pertumbuhan ekonomi yang rendah terjadi karena dua otoritas mengeringkan sistem finansial.
Ancaman Jebakan Ekonomi
Menurut Purbaya, kondisi ekonomi akan semakin parah jika tidak segera diperbaiki. Ia khawatir jika ekonomi memburuk, banyak pegawai akan di-PHK, rakyat hidupnya semakin sulit, dan masyarakat bisa turun ke jalan.
"Ketika ekonomi memburuk, banyak pemecatan-pemecatan pegawai kan pasti, rakyat hidupnya makin susah dan kita enggak peduli waktu itu, turunlah ke jalan masyarakat kita. Itu expected untuk saya. Jadi kita sedang dibunuh. Kalau ekonomi seperti saya ngelihatnya itu ini jebakan ekonomi, tinggal tunggu jatuhnya kalau enggak cepat-cepat diperbaiki," katanya.
Solusi yang Dicetuskan
Untuk mengatasi masalah ini, Purbaya mengusulkan agar dana pemerintah di BI sebesar Rp 200 triliun dipindahkan ke perbankan. Kebijakan ini diperkirakan dapat meningkatkan pertumbuhan uang beredar sebesar 15-20 persen dalam waktu dekat.
Dampaknya, perekonomian diperkirakan akan mulai terlihat dalam 1-2 bulan mendatang. "Nanti kalau sudah saya perbaiki, ya (pertumbuhan ekonomi) 6-6,5 persen bisalah kira-kira atau bisa lebih cepat. Baru kita perbaiki engine-engine yang lain," tuturnya.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!