
Perjalanan Koperasi Merah Putih di Tengah Keterbatasan
Waktu telah berlalu satu tahun. Bagi sebagian orang, waktu ini terasa sangat cepat, bahkan hampir tidak terasa. Namun bagi Ferry Juliantono, menteri koperasi yang baru, waktu ini menjadi tantangan besar untuk mengejar target yang ditetapkan. Salah satunya adalah membangun Koperasi Merah Putih, sebuah inisiatif penting dalam visi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Ferry Juliantono bukanlah orang asing di dunia koperasi. Sebagai mantan wakil menteri koperasi, ia sudah mengenal betul perjalanan Koperasi Merah Putih. Dari awal pembentukannya hingga saat ini, koperasi tersebut masih dalam proses pengembangan dan belum sepenuhnya berjalan lancar. Menurut pengurus koperasi di pelosok Jawa Timur, mereka masih menunggu arahan lebih lanjut dari pihak terkait.
Kini, Ferry harus bekerja dengan kecepatan tinggi. Meski usianya 58 tahun, ia tidak bisa mengandalkan birokrasi yang terlalu lambat. Tantangan terbesarnya adalah menghidupkan 80.000 koperasi yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia dalam waktu singkat. Ini adalah tugas yang sangat besar, terlebih jika melihat kondisi birokrasi yang sering kali dinilai tidak efisien.
Koperasi Merah Putih merupakan bagian dari "jalan baru ekonomi" yang diusung oleh Presiden Prabowo. Namun, jalan ini bertabrakan dengan birokrasi lama yang masih digunakan. Banyak dinas koperasi di daerah justru digunakan sebagai tempat pembuangan karier, bukan sebagai tempat pengembangan koperasi.
Dari sini, muncul ide bahwa Kementerian Koperasi bisa diubah menjadi badan pengelola khusus. Dengan demikian, koperasi yang ada akan lebih mandiri dan bisa berkembang tanpa terlalu banyak intervensi dari birokrasi. Ide ini juga didukung oleh Ferry Irwandi, seorang YouTuber, pendemo, dan ekonom yang memiliki teori tentang keterbatasan dalam pembangunan ekonomi.
Menurut Ferry, ada tiga cara untuk mengatasi keterbatasan: efisiensi, inovasi, dan skala prioritas. Dalam situasi seperti ini, ketiga hal tersebut harus diterapkan secara bersamaan. Namun, karena keterbatasan sumber daya dan waktu, inovasi sulit dilakukan. Maka, fokus utama harus beralih ke efisiensi dan skala prioritas.
Efisiensi pun tidak mudah dicapai. Oleh karena itu, yang tersisa hanyalah skala prioritas. Artinya, tidak semua keinginan bisa diwujudkan. Misalnya, membangun 80.000 koperasi baru tidak mungkin dilakukan semuanya. Maka, prioritas harus ditentukan berdasarkan kondisi setempat. Di desa, fokus pada koperasi tani; di kota, pada koperasi jasa; dan di daerah pesisir, pada koperasi perikanan.
Jika hanya 1.000 koperasi saja yang diprioritaskan, itu sudah dianggap luar biasa. Dengan begitu, fokus dan sumber daya bisa dialokasikan secara lebih tepat.
Ferry Juliantono kini menduduki kursi yang panas. Ia menggantikan Budi Arie, yang sering disebut sebagai Judi Arie. Pemanggilan nama ini menyebabkan beberapa pihak merasa tidak nyaman. Ditambah lagi, pengganti Budi Arie adalah Ferry, yang merupakan tokoh Gerindra. Hal ini memicu persepsi bahwa ada upaya "pembersihan" dari figur-figur Jokowi di kabinet Prabowo.
Persepsi ini membuat suhu politik menjadi semakin panas. Contohnya, video Frans Yanes Yosua yang viral di media sosial menunjukkan rasa dendam terhadap Prabowo. Bahkan, ada laporan tentang rombongan orang berpakaian hitam-hitam yang mengunjungi rumah Jokowi di Solo. Meski video tersebut bisa jadi hanya klaim, namun suasana politik memang sedang memanas.
Jika Koperasi Merah Putih gagal, maka kursi Ferry Juliantono akan semakin panas. Namun, ia adalah sosok yang pernah aktif dalam gerakan perubahan. Ia tahu betul bahwa birokrasi sering kali menjadi hambatan. Namun, ia juga terbiasa melihat masalah dengan tajam dan mencari solusi.
Sekarang, kursi menteri koperasi benar-benar menjadi hot spot. Lebih panas daripada masa Adi Sasono, yang juga mentor Ferry. Ini menunjukkan bahwa tanggung jawab yang diemban sangat berat. Namun, dengan kesadaran akan keterbatasan dan keinginan untuk bergerak, Ferry harus tetap berjuang.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!