
Pendahuluan
Dalam dunia hukum, istilah parricide merujuk pada tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh seorang anak terhadap orang tuanya. Kasus ini sering kali dianggap sebagai indikasi meningkatnya kekerasan remaja atau perilaku negatif dari anak-anak. Namun, sudut pandang ini terlalu sederhana dan tidak mencerminkan kompleksitas situasi yang sebenarnya. Banyak kasus parricide justru muncul dari lingkungan rumah tangga yang penuh dengan kekerasan yang berlangsung secara berulang dan sistematis.
Pembunuhan yang dilakukan oleh anak dalam situasi seperti ini sering kali bukanlah tindakan jahat, melainkan upaya untuk bertahan hidup. Dalam teori pemidanaan incapacitation, hukuman bagi pelaku menjadi tidak relevan karena sumber kekerasan telah hilang. Di sisi lain, teori retributif mengatakan bahwa pelaku harus "membayar" perbuatannya, namun anak yang mengalami kekerasan berkepanjangan justru sudah membayar mahal melalui penderitaan fisik dan psikologis. Menjatuhkan hukuman penjara hanya akan memperparah siklus ketidakadilan.
Dinamika Psikologis Anak yang Mengalami Kekerasan
Anak-anak yang hidup dalam lingkungan kekerasan menunjukkan berbagai reaksi psikologis yang beragam. Beberapa pola umum yang terjadi antara lain:
-
Belajar Kekerasan Sebagai Mekanisme Penyelesaian Konflik
Melalui interaksi dengan orang tua yang penuh kekerasan, anak cenderung menganggap kekerasan sebagai cara normal untuk menyelesaikan masalah. Ketika mereka terus-menerus menyaksikan pertengkaran, pemukulan, atau ancaman, mereka akan memandang kekerasan sebagai strategi utama dalam mengelola konflik. -
Menarik Diri melalui Fantasi dan Penyangkalan
Beberapa anak memilih untuk melarikan diri ke dunia fantasi atau menyangkal kenyataan yang mereka alami. Mekanisme ini bisa berisiko menyebabkan gangguan psikologis serius, termasuk trauma kompleks dan psikosis. -
Melarikan Diri dari Rumah
Banyak anak yang hidup dalam lingkaran kekerasan berusaha kabur dari rumah sebagai bentuk perlawanan. Namun, realitas di luar rumah sering kali lebih berbahaya, membuat mereka rentan mengalami eksploitasi, kekerasan seksual, atau kriminalisasi.
Pembelaan Diri dalam Hukum Klasik dan Realitas Modern
Dalam hukum pidana klasik, pembelaan diri hanya diakui jika terjadi serangan langsung dan segera. Namun, dalam kasus parricide, kekerasan biasanya tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan dalam bentuk pola kekerasan yang berulang dan dapat diprediksi. Anak korban memahami tanda-tanda bahaya seperti nada suara, ekspresi wajah, atau gerakan tertentu yang tidak terlihat oleh orang luar.
Ketika seorang anak bertindak sebelum serangan fisik terjadi, tindakannya dianggap tidak memenuhi kriteria klasik pembelaan diri. Akibatnya, tindakan tersebut sering dipahami sebagai pembunuhan biasa, bukan sebagai upaya perlindungan diri dan keluarga dari ancaman nyata yang telah dirasakan.
Standar Kewajaran Pembelaan Diri Berdasarkan Hukum Klasik
Konsep proporsionalitas antara kekuatan yang digunakan dengan tingkat ancaman yang dihadapi merupakan prinsip utama dalam pembelaan diri. Namun, kerangka ini tidak memadai untuk dianalisis dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), termasuk kasus parricide.
Pengalaman traumatis yang berlangsung dalam jangka panjang mengkonstruksi persepsi yang berbeda terhadap bahaya. Suatu situasi yang tampak tidak mengancam bagi individu yang tidak memiliki pengalaman serupa, dapat dirasakan sebagai ancaman nyata dan mematikan oleh anak yang telah hidup dalam kekerasan dan ketakutan selama bertahun-tahun.
Faktor Mempengaruhi Penilaian Kewajaran dalam Hukum Klasik
Penilaian terhadap kewajaran tindakan dalam kasus parricide semestinya mempertimbangkan berbagai faktor kontekstual, antara lain:
- Kesenjangan kekuatan fisik antara anak dan orang tua, di mana orang dewasa tetap dapat menjadi ancaman meskipun tidak menggunakan senjata.
- Ketergantungan emosional dan ekonomi yang menghambat anak untuk keluar dari lingkungan kekerasan.
- Minimnya intervensi eksternal, baik dalam level mikro (keluarga), middle (masyarakat setempat) maupun makro (pemerintah dan negara).
Ilustrasi Kasus
Seorang anak, sebut saja Melai, mengalami kekerasan berat dari ayahnya selama bertahun-tahun. Kekerasan ini mencakup penganiayaan fisik, kekerasan verbal, penelantaran ekonomi, serta pemisahan dari ibu kandungnya. Selama itu, tidak ada pihak yang benar-benar membantu, baik keluarga, masyarakat, maupun negara melalui aparat perlindungan anak.
Suatu malam, ayah Melai mengancam akan membunuhnya dengan parang. Keesokan paginya, ancaman tersebut terus terngiang di benak Melai, memicu ketakutan ekstrem karena ia mengingat semua kekerasan yang telah dialaminya. Dalam kondisi panik dan tertekan, Melai menusuk ayahnya dengan pisau hingga tewas.
Bagi pihak luar, tindakan Melai mungkin tampak sebagai bentuk pembunuhan yang direncanakan. Namun, tanpa pemahaman yang utuh terhadap riwayat kekerasan yang dialaminya, dinamika siklus teror yang terus berulang, serta kondisi psikologis yang dikenal sebagai Battered Person Syndrome, sulit untuk menilai bahwa tindakannya merupakan bentuk pembelaan diri yang rasional dan proporsional.
Seruan untuk Keadilan
Mengakui pembelaan diri dalam kasus parricide tidak berarti melegalkan pembunuhan, tetapi merupakan pengakuan bahwa dalam situasi tertentu seorang anak tidak memiliki pilihan lain untuk bertahan hidup. Hukum harus melihat anak sebagai korban terlebih dahulu, bukan semata-mata pelaku kejahatan. Negara yang gagal melindungi mereka sejak awal tidak boleh kemudian menghukum mereka atas keputusan tragis yang diambil demi menyelamatkan diri.
Seperti halnya perempuan korban KDRT yang membunuh pasangannya, anak dalam kasus parricide juga berhak mendapatkan perlindungan hukum yang manusiawi dan adil, bukan penghukuman yang buta konteks.
Penutup
Parricide tidak dapat dipahami hanya melalui kacamata hukum pidana klasik yang kaku dan formalistik. Siklus kekerasan, dampak psikologis korban, dan kegagalan negara dalam memberikan perlindungan harus menjadi pertimbangan utama dalam penilaian pembelaan diri. Reformasi hukum diperlukan untuk menciptakan standar pembelaan diri yang lebih adaptif, sehingga anak-anak korban kekerasan tidak kembali menjadi korban kedua kali di ruang pengadilan dan di hadapan negara.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!