Ditawar 1 Juta Dolar, Mantan Ketua PN Jakpus Pernah Jumpa Agusrin di Rumah Ketua MA

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Pengakuan Eks Ketua PN Jakarta Pusat Terkait Pertemuan dengan Agusrin Maryono

Dalam sidang kasus dugaan suap vonis lepas perkara CPO di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rudi Suparmono, mantan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, memberikan kesaksian mengenai pertemuannya dengan seseorang bernama Agusrin Maryono. Menurut Rudi, pertemuan tersebut terjadi saat ia berlebaran di rumah seorang Ketua Mahkamah Agung (MA), meski ia tidak menyebutkan identitas jelas dari ketua MA tersebut.

Pada persidangan yang digelar pada Rabu (10/9), Rudi mengungkap bahwa dirinya pernah ditawari uang sebesar USD 1 juta oleh Agusrin untuk membantu pengurusan perkara CPO. Hal ini disampaikan dalam konteks pemeriksaan terhadap keterlibatan Agusrin dalam kasus dugaan suap yang melibatkan beberapa hakim.

Hakim ad hoc Tipikor PN Jakpus, Andi Saputra, menanyakan lebih lanjut tentang awal mula perkenalan Rudi dengan Agusrin. Dalam jawabannya, Rudi menjelaskan bahwa pertemuan tersebut terjadi saat ia berkunjung ke rumah Ketua MA pada masa lebaran. Namun, ia tidak mengungkapkan identitas lengkap dari ketua MA yang dimaksud.

"Biarkan tidak ada salah paham, tadi itu si Agusrin, Agusrin yang disebut itu Agusrin siapa, ya? Apakah pengacara, pengusaha, atau siapa gitu?" tanya Hakim Andi.

Rudi menjawab bahwa ia tidak mengenal Agusrin secara pribadi dan hanya mengenalnya sebagai seseorang yang ia temui saat berlebaran di rumah Ketua MA. Ia juga tidak tahu profesi lengkap dari Agusrin.

Penjelasan Terkait Tawaran Uang

Selanjutnya, Hakim Andi membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Rudi yang menyebut bahwa ia tidak pernah menerima tawaran dari Agusrin Maryono Najamuddin, meskipun uang tersebut menurut Agusrin siap diambil. Rudi mengonfirmasi bahwa pernyataan tersebut benar.

"Dari beliau, iya," timpal Rudi saat diminta apakah uang tersebut berasal dari Agusrin.

Sebelumnya, Rudi sempat mengaku bahwa Agusrin menawarkan uang sebesar USD 1 juta untuk membantu perkara persetujuan ekspor CPO. Menurut Rudi, Agusrin menemuinya setelah dilantik sebagai Ketua PN Jakarta Pusat pada April 2024. Awalnya, Agusrin hanya menyampaikan ucapan selamat atas pelantikannya.

Namun, beberapa waktu kemudian, Agusrin kembali menemui Rudi dan menyampaikan adanya perkara CPO yang sedang ditangani. Saat itu, Rudi tidak langsung fokus pada korporasi tertentu, tetapi hanya mengetahui bahwa perkara tersebut berkaitan dengan CPO.

Perkembangan Kasus Suap Vonis Lepas CPO

Dalam kasus dugaan suap vonis lepas perkara CPO, tiga orang hakim yang menjatuhkan vonis lepas dalam perkara persetujuan ekspor crude palm oil (CPO) didakwa menerima suap dan gratifikasi. Ketiga hakim tersebut adalah Djuyamto, Agam Syarief, dan Ali Muhtarom. Mereka didakwa bersama dengan eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta, dan mantan Panitera Muda PN Jakarta Pusat, Wahyu Gunawan.

Kelimanya didakwa menerima total uang suap sebesar Rp 40 miliar dalam menjatuhkan vonis lepas perkara persetujuan ekspor CPO tersebut. Uang suap tersebut diduga berasal dari Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M. Syafe'i selaku advokat atau pihak yang mewakili kepentingan terdakwa korporasi Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.

Dalam pembagian uang suap tersebut, Arif didakwa menerima bagian suap sebesar Rp 15,7 miliar, Wahyu menerima sekitar Rp 2,4 miliar, Djuyamto menerima bagian Rp 9,5 miliar, serta Agam Syarief dan Ali Muhtarom masing-masing mendapatkan bagian uang suap senilai Rp 6,2 miliar.

Untuk Arif, ia didakwa dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 atau Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara itu, Wahyu didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 atau Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Djuyamto, Agam, dan Ali didakwa melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.