
Kritik Terhadap Rangkap Jabatan Menteri Pertahanan dan Koordinator Politik
Rangkap jabatan yang diemban oleh Menteri Pertahanan Republik Indonesia (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin, yang juga menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) ad interim, kini menjadi sorotan publik. Hal ini terjadi setelah Presiden Joko Widodo melakukan perombakan atau reshuffle Kabinet Merah Putih pada Senin (8/9/2025). Namun, hingga saat ini, dua posisi menteri masih kosong, yaitu Menko Polkam dan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora).
Pakar komunikasi politik, Effendi Ghazali, mengungkapkan kekhawatiran terhadap situasi ini. Ia menilai bahwa pengumuman nama-nama baru untuk jabatan-jabatan strategis tersebut sangat ditunggu-tunggu oleh rakyat. Dalam wawancara yang tayang di YouTube tvOneNews, Effendi menyampaikan beberapa pertanyaan penting terkait proses reshuffle.
"Konteks komunikasi politik memunculkan beberapa pertanyaan," ujar Effendi. Ia menilai bahwa ketidakhadiran nama-nama baru dalam jabatan tersebut dapat menciptakan persepsi bahwa pejabat tertentu tidak begitu signifikan. "Itu seperti ungkapan 'enggak ada lu nggak rame'—yang artinya, tanpa Anda pun tidak apa-apa."
Effendi juga menyoroti bahwa penggantian pejabat dengan nama yang belum diumumkan atau bahkan sedang berada di luar kota, tidak sepenuhnya merupakan reshuffle. "Ini hanya sekadar penggantian, bukan reshuffle yang sebenarnya," tambahnya.
Selain itu, Effendi menegaskan bahwa jabatan Menko Polkam sangat mendesak untuk segera diisi. Hal ini karena kondisi politik dan keamanan yang sedang bergejolak akibat aksi demonstrasi di berbagai daerah. "Menko Polkam adalah posisi yang sangat penting, dan tentu saja dianggap urgensi oleh Pak Prabowo," jelas Effendi.
Namun, ia juga menyoroti bahwa pertanyaan besar tetap muncul: sampai kapan rangkap jabatan antara Menhan dan Menko Polkam akan terus berlangsung? "Jika seorang menteri merangkap jabatan koordinator, sampai kapan hal ini bisa diterima?" tanya Effendi.
Kritik dari Pakar Hukum Tata Negara
Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yance Arizona, juga turut mengkritik rangkap jabatan ini. Ia menilai bahwa meskipun tidak akan berdampak signifikan terhadap jalannya pemerintahan, karena masih ada Wakil Menko Polkam yang menjabat, namun rangkap jabatan ini kurang pantas jika dilakukan dalam waktu yang lama.
"Kurang pantas kalau menteri ad interim menjabat terlalu lama, meskipun pengalaman sebelumnya pernah terjadi. Jadi perlu dihindari rangkap jabatan yang terlalu lama," ujar Yance Arizona.
Ia juga menekankan bahwa Presiden Prabowo sebaiknya menjauhi praktik rangkap jabatan yang berlarut-larut. Meski memiliki pengalaman sebelumnya, ia menilai bahwa hal ini bisa menimbulkan kesan bahwa pemerintahan tidak stabil atau kurang transparan.
Yance Arizona sendiri tidak hanya dikenal sebagai pakar hukum tata negara, tetapi juga sebagai dosen Departemen Hukum Tata Negara sekaligus Ketua Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi dan HAM (PANDEKHA) di Fakultas Hukum UGM. Ia juga pernah menerima berbagai penghargaan internasional, termasuk Indigenous Leaders Conservation Fellowship dari Conversation International 2014 dan Sasakawa Young Leadership Fellowship (SYLFF) dari Tokyo Foundation (2019) untuk riset di Australia dan Jepang.
Kesimpulan
Situasi yang terjadi menunjukkan bahwa penundaan pengisian jabatan strategis serta rangkap jabatan antara Menhan dan Menko Polkam telah memicu kritik dari berbagai pihak. Efisiensi pemerintahan, stabilitas politik, dan kepercayaan publik menjadi isu utama yang harus segera diatasi. Dengan tantangan yang semakin kompleks, pemerintah perlu menunjukkan kejelasan dan komitmen dalam mengelola kebijakan serta struktur pemerintahan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!