
Wajah yang Berubah: Dari Garang ke Menangis di Tangan KPK
Tampaknya, tidak ada yang bisa memprediksi bagaimana perasaan Immanuel Ebenezer setelah ia ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan diperlihatkan kepada publik. Ia menangis seperti anak kecil yang cengeng, sebuah penampilan yang jauh dari gambaran garang yang sering ia tunjukkan saat melakukan inspeksi mendadak ke berbagai perusahaan.
Noel, sapaan akrab Immanuel Ebenezer, kini harus menghadapi konsekuensi atas tindakannya. Bersama 10 orang lainnya, ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan terkait pengurusan sertifikat keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan. Dalam kasus ini, Noel disebut membiarkan praktik pemerasan terjadi dan bahkan menerima fee atas tindakan tersebut.
Saat itu, ia ditemani rompi oranye dan tangan terborgol. Ia berjalan dengan wajah sedih, menangis, dan sesekali mengusap matanya. Di luar Gedung Merah Putih KPK, ia melirik ke arah udara bebas yang mungkin tidak akan ia nikmati selama beberapa waktu ke depan. Meski begitu, ia tetap mencoba tersenyum dan mengacungkan jempol kepada para wartawan yang mengabadikan momen tersebut.
Praktik Pemerasan yang Menguras Uang Buruh
Immanuel Ebenezer bukan satu-satunya pelaku dalam kasus ini. Selain dia, ada 10 orang lainnya yang juga ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah para pejabat dan staf di Kemenaker yang terlibat dalam praktik pemerasan. Dari mereka, termasuk Irvian Bobby Mahendro, Gerry Adita Herwanto Putra, Subhan, Anitasari Kusumawati, Fahrurozi, Hery Sutanto, Sekarsari Kartika Putri, Supriadi, Temurila, dan Miki Mahfud dari pihak PT KEM Indonesia.
KPK menduga bahwa praktik pemerasan ini telah berlangsung sejak tahun 2019. Tarif sertifikasi K3 yang semestinya hanya Rp 275.000, ternyata meningkat hingga Rp 6 juta akibat adanya tekanan dan pembengkakan biaya. Dari jumlah tersebut, KPK mencatat total kerugian negara mencapai Rp 81 miliar, dengan Noel sendiri menerima jatah sebesar Rp 3 miliar dan motor merek Ducati.
Alasan Menggunakan Pasal Pemerasan
Menurut Ketua KPK Setyo Budiyanto, kasus ini tidak menggunakan pasal suap karena modus yang digunakan adalah pemerasan. Para tersangka memperlambat, mempersulit, atau bahkan tidak memproses permohonan sertifikasi K3 jika tidak ada pembayaran tambahan. Hal ini membuat para buruh merasa tertekan secara psikologis karena sertifikasi tersebut sangat dibutuhkan.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan bahwa modus pemerasan ini berbeda dari kasus suap. "Pemerasan terjadi karena adanya tekanan untuk membayar lebih agar proses dapat cepat selesai," ujar Asep.
Permintaan Maaf dan Harapan Amnesti
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Noel menyampaikan permintaan maaf kepada Presiden RI Prabowo Subianto, keluarga, dan rakyat Indonesia. Ia juga mengklaim bahwa dirinya tidak terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK dan tidak terlibat dalam kasus pemerasan seperti yang dituduhkan.
Ia bahkan berharap mendapatkan amnesti dari Presiden Prabowo. "Semoga saya mendapat amnesti Presiden Prabowo," ujarnya.
Pelajaran Berharga
Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi para pejabat. Seorang pejabat seharusnya menjadi teladan, mengayomi, dan memberikan dampak positif bagi masyarakat. Kejahatan, meskipun bisa disembunyikan sementara, akhirnya akan terbongkar juga.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!