Merevisi penyajian kepemimpinan perempuan

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Nepal, 25 Agustus -- Tidak diragukan lagi bahwa partisipasi perempuan dalam lingkup politik Nepal - dari struktur partai hingga pemerintahan lokal, provinsi, dan federal - semakin meningkat. Namun, media terus lebih fokus pada penampilan, kehidupan pribadi, dan emosi perempuan daripada kontribusi substansial mereka. Hal ini tidak hanya meremehkan peran politik mereka tetapi juga menggambarkan politisi perempuan sebagai aktor politik yang kurang serius, meskipun beberapa kemajuan telah terlihat dalam beberapa waktu terakhir.

Framing yang stereotip dan berbasis gender

Meskipun jurnalisme mengklaim objektivitasnya, penelitian menunjukkan bahwa politisi perempuan secara konsisten menghadapi liputan yang bias. Media berita lebih menekankan penampilan, status keluarga atau pernikahannya daripada tindakan atau gagasannya dalam politik. Misalnya, Komal Oli telah lama aktif dalam politik partai, namun statusnya sebagai selebriti mengungguli identitas politiknya. Media cenderung menekankan latar belakangnya sebagai penyanyi, menyebutnya "Gayika Oli" bahkan dalam laporan politik serius. Cerita seperti Poila Jana Pam terus mendominasi halaman depan, mengurangi citra publiknya menjadi kontroversi pribadi. Demikian pula, perselisihan hukumnya dengan pemimpin Raghubir Pant, yang membuat komentar merendahkan secara seksual tentangnya, dilaporkan sebagai kontroversi terisolasi, bukan dibahas dalam konteks yang lebih luas tentang misogini dalam politik.

Seorang pemimpin politik lainnya, Hisila Yami, secara tidak proporsional didefinisikan oleh hubungannya dengan suaminya, Baburam Bhattarai. Judul berita menyebutnya sebagai "istri Baburam" daripada sebagai seorang pemimpin revolusioner yang mandiri. Bahkan memoirnya pun dituturkan dalam konteks hubungan interpersonalnya, bukan perjalanan politiknya sebagai seorang pemimpin feminis.

Sensasionalisme dan tokenisme

Tokoh perempuan politik di Nepal sering menghadapi penggambaran media yang sensasional dan moralis yang menyoroti sikap percaya diri atau ambisi mereka sebagai kontroversial. Misalnya, kenaikan karier Sujata Koirala, anggota Partai Nepali Congress, diframing oleh media sebagai oportunis, dengan menekankan kedekatannya dengan kekuasaan daripada pencapaian diplomatiknya. Demikian pula, pemimpin Pusat Maois Pampha Bhusal digambarkan sebagai pemberontak hanya karena sikap percaya dirinya.

Liputan media tentang pemimpin perempuan juga meningkat selama peristiwa simbolis seperti Hari Perempuan Internasional atau pemilu, tetapi visibilitas ini tidak konsisten dan jarang mendalam. Mantan Presiden Bidya Devi Bhandari dipuji luas setelah menjadi presiden perempuan pertama Nepal, tetapi media secara umum mengurangi perhatian setelahnya, kecuali selama kontroversi seperti penolakannya terhadap rancangan undang-undang kewarganegaraan. Demikian pula dengan Renu Dahal, walikota Kota Metropolitan Bharatpur, yang awalnya mendapat perhatian karena dia adalah putri Pushpa Kamal Dahal. Karya dan upaya pemerintahannya yang sebenarnya kurang dikemukakan hingga jauh kemudian.

Secara terpisah, dalam banyak kasus, pemimpin perempuan politik juga didefinisikan oleh label keluarga atau etnis—seperti "pemimpin Janajati" atau "putri XYZ".

Diskusi dan pengambilan keputusan

Kontribusi para pemimpin perempuan di tingkat legislatif dan lokal sering kali tidak terlihat kecuali terkait dengan kontroversi. Misalnya, anggota parlemen perempuan seperti Bidya Bhattarai, Toshima Karki, dan Ishwari Neupane telah secara signifikan turut serta dalam debat parlemen. Namun, upaya mereka mendapat perhatian media yang terbatas—tertutup oleh liputan yang fokus pada aspek yang kurang substansial atau sensasional.

Bhattarai mendapatkan perhatian media yang lebih besar hanya setelah mengundurkan diri sebagai Menteri Pendidikan, Sains, dan Teknologi. Narasi media berpusat pada dugaan perselisihan antara dia dengan Perdana Menteri KP Sharma Oli. Dia sering ditampilkan dengan nada simpatik daripada kritik analitis dalam liputan media. Di tingkat lokal, wakil walikota dan ketua ward perempuan jarang diakui kecuali tertangkap dalam sengketa. Panel media dan acara diskusi politik juga mencerminkan ketimpangan gender yang dalam.

Bias bahasa dan visibilitas yang dipilih

Politisi perempuan sering diberi label dengan istilah yang bersifat meremehkan atau berjenis kelamin, seperti "menteri wanita" atau "anggota partai perempuan," sementara rekan laki-lakinya diidentifikasi berdasarkan posisi resmi mereka. Misalnya, Jayapuri Gharti, meskipun memainkan peran penting dalam proses penyusunan konstitusi, secara besar-besaran digambarkan sebagai "pemimpin perempuan dari suku Janajati," dengan sedikit fokus pada wawasan politiknya.

Secara serupa, perjalanan politik mantan wakil ketua Shivamaya Tumbahamphe sering dikaitkan dengan dukungan pemimpin laki-laki, dengan kritik yang ditujukan kepadanya karena menerima posisi yang dianggap kurang prestise. Ini mencerminkan narasi di mana politisi laki-laki dianggap sebagai pemberi kekuasaan dan perempuan sebagai penerima pasif.

Selain itu, pemimpin perempuan sering dikritik atas kelemahan kecil, seperti kesalahan pelafalan atau kurangnya kelancaran dalam bahasa Nepal. Jenis kritik semacam ini jarang diterapkan kepada laki-laki.

Konteks internasional

Sebuah penelitian berjudul "Gendering dalam kampanye pemilu: Studi pemantauan media tentang representasi politisi perempuan di Belgia" oleh D'Heer, De Vuyst, dan Van Leuven, yang mencakup pemilu Belgia 2019, menemukan bahwa meskipun kandidat perempuan menyumbang setengah dari seluruh peserta, mereka hanya menerima kurang dari seperempat dari total liputan media di koran, situs web, TV, dan radio selama dua minggu kritis sebelum pemilu. Ketika perempuan tampil, fokus sering beralih ke gender mereka, kehidupan pribadi, keluarga, dan penampilan, yang merusak kredibilitas dan peluang mereka untuk menang.

Selain itu, sebuah studi lain berjudul "Gambaran Berjenis Kelamin terhadap Politisi Perempuan dalam Media Amerika", karya Flaka Jonuzi, yang dilakukan di University of Sheffield, Inggris, menganalisis 30 artikel yang diterbitkan antara tahun 2019 dan 2020 di The New York Times, The Washington Post, dan The Guardian (AS), dengan fokus pada politisi perempuan terkenal Hillary Clinton, Nancy Pelosi, dan Alexandria Ocasio-Cortez. Penelitian ini menemukan bahwa para politisi perempuan sering digambarkan melalui lensa yang bias, dengan menekankan aspek pribadi seperti penampilan, emosi, peran keluarga, dan hubungan daripada pencapaian profesional mereka. Para politisi perempuan yang kuat ini sering digambarkan oleh media sebagai rentan secara emosional, bergantung pada pasangan laki-laki atau terutama didefinisikan oleh peran sebagai ibu dan istri.

Studi ini juga menyoroti penggunaan bahasa yang bersifat gender dan metafora rumah tangga yang memperkuat norma gender tradisional, serta sifat-sifat kepribadian negatif yang meragukan kompetensi mereka dibandingkan rekan laki-lakinya.

Perubahan positif dan jalan menuju masa depan

Meskipun ada bias gender yang terus-menerus dalam liputan politik, perubahan bertahap namun bermakna sedang muncul dalam lingkungan media Nepal. Sejumlah kecil lembaga media dan platform telah menjadi lebih peka terhadap isu gender dan mulai menghasilkan gambaran yang lebih mendalam tentang politisi perempuan.

Media berbasis komunitas, termasuk radio komunitas pedesaan, juga telah mengambil langkah-langkah yang menjanjikan dengan memberikan ruang bagi wakil walikota dan ketua kelurahan untuk berbagi inisiatif dan tantangan mereka. Upaya organisasi pengembangan media dan asosiasi jurnalis tertentu dalam menyelenggarakan pelatihan kesadaran gender telah berkontribusi terhadap kemajuan ini, meskipun inisiatif-inisiatif tersebut masih terbatas dalam skala dan jangkauannya.

Selain itu, penguatan standar etis—seperti Kode Etik Press Council Nepal yang menentang representasi stereotip—telah membantu mendorong peliputan yang lebih seimbang. Untuk memperkuat momentum ini, lembaga media harus memprioritaskan peliputan inklusif, menjauhkan diri dari sensasionalisme, memastikan keseimbangan gender dalam panel ahli, dan menciptakan mekanisme akuntabilitas internal yang lebih kuat untuk mempromosikan perwakilan politik yang adil.