
Perayaan Kemerdekaan dan Makna yang Harus Dihargai
Pada hari Ahad, 17 Agustus 2025, bangsa Indonesia telah genap berusia 80 tahun merayakan kemerdekaannya. Artinya, sudah delapan dekade sejak negara ini terlepas dari cengkeraman penjajah yang tidak memiliki rasa kemanusiaan dan jauh dari nilai-nilai peradaban. Momentum ini menjadi saat yang sangat penting untuk memperingati perjuangan para pahlawan dan syuhada yang telah memberikan jiwa dan raganya demi kejayaan bangsa.
Setiap warga Indonesia wajib bersyukur atas nikmat besar yang diberikan oleh Allah Swt. Syukur ini juga merupakan bentuk penghormatan terhadap jasa para pejuang yang rela berkorban tanpa pamrih. Mereka berjuang bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk anak cucu mereka kelak. Oleh karena itu, kita harus belajar untuk berterima kasih dan melakukan hal-hal positif bagi negara. Jangan sampai kita menguras kekayaan negara hanya untuk kepentingan pribadi atau orang-orang di sekitar kita.
Merah Putih adalah bendera bangsa, simbol kedaulatan, dan tanda persatuan. Inilah yang membuat para pahlawan rela mengorbankan nyawa dan harta tanpa mengharap pujian atau imbalan. Oleh karena itu, mengibarkan dan menjunjung tinggi Sang Saka bukan hanya kewajiban TNI-Polri, tetapi juga seluruh anak bangsa yang mengaku berbangsa Indonesia, bertanah air Indonesia, dan berbahasa Indonesia.
Kita tidak boleh melupakan jasa para pendiri bangsa. Jangan sampai ada upaya menghapus pelajaran sejarah dari kurikulum pendidikan, karena itu sama saja dengan mengkhianati bangsa. Begitu pula mereka yang mengutamakan bendera-bendera lain di atas Merah Putih adalah bentuk pengingkaran terhadap pengorbanan para syuhada.
Ironisnya, kini ada yang berlomba-lomba mengibarkan bendera lain—bendera organisasi, partai, bahkan bendera fiksi—seakan tidak lagi bangga dengan Merah Putih. Padahal, kalau pun tidak puas dengan pemerintah, yang perlu diperbaiki adalah penyelenggara negara, bukan simbol kebangsaan. Sebab, siapa pun yang kelak memimpin negeri ini tetap wajib mempertahankan Sang Saka Merah Putih.
Kemerdekaan bukan hanya simbol, melainkan juga amanah untuk menegakkan keadilan. Pemerintah dan aparat negara tidak boleh lalai dalam menjalankan hukum secara adil, dalam distribusi hasil bumi, maupun dalam menjamin akses pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Jika hal itu diabaikan, maka sama saja dengan mengingkari nikmat kemerdekaan.
Kemerdekaan bukan memberi amnesti kepada koruptor, penjarah harta negara, pengkhianat negara. Kemerdekaan adalah menomorsatukan keadilan yang salah dihukum dan yang benar dilepas. Inilah makna kemerdekaan sejati, dengan berlaku adil dan tidak pandang bulu menjalankan hukum.
Orang yang benar-benar tahu berterima kasih akan bertanya: “Apa yang dapat kuberikan untuk negeriku?” Bukan sebaliknya: “Berapa banyak harta negara yang bisa kukorupsi?” Mereka yang korupsi adalah pengkhianat bangsa, dan para pengkhianat itu ada di sekitar kita. Mereka harus ditindak tegas, diproses hukum, bahkan dipenjara. Itulah salah satu cara mensyukuri nikmat kemerdekaan: menegakkan keadilan tanpa pandang bulu walaupun itu keluarga kita, mantan majikan kita, dan kroni kita.
Kita bisa belajar dari kepemimpinan Umar bin Khattab ra. Beliau tidak pernah berdiam diri setelah menunaikan shalat malam, melainkan berkeliling untuk memastikan rakyatnya cukup makan. Baitul Mal digunakan untuk memenuhi kebutuhan orang miskin, bukan dikuasai segelintir orang. Dan bukan pula untuk menumpuk harta yang menggunung sementara orang fakir menambah kehadirannya dan yang miskin tetap menambah kemiskinannya. Di hadapan mahkamahnya, orang kaya merasa takut berlaku zalim, sedangkan orang miskin merasa terlindungi. Inilah wujud keadilan yang sejati.
Karena itu, harta negara seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, bukan mengendap di kantong konglomerat, elit penguasa, atau oknum pengelola baitul mal. Keadilan yang merata adalah bagian dari syukur atas nikmat kemerdekaan.
Lebih dari itu, Islam mengajarkan bahwa rasa syukur diwujudkan melalui ketaatan kepada Allah: menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Inilah bukti perhambaan sekaligus bentuk rasa terima kasih atas segala nikmat. Jika hal ini diamalkan dengan baik, maka umat Islam, bahkan non-Muslim sekalipun, sesungguhnya telah mensyukuri nikmat kemerdekaan ini.
Dan kemerdekaan merupakan anugerah sekaligus amanah. Mensyukurinya berarti menjaga persatuan, menghormati para pahlawan, menegakkan keadilan, dan mengabdikan diri untuk bangsa serta kepada Allah Swt dengan ikhlas.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!