Masyarakat Pesisir Lindungi Laut untuk Kedaulatan Pangan dan Ekonomi

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Peran Masyarakat Pesisir dalam Menjaga Laut dan Kedaulatan Ekonomi

Festival Media (Fesmed) yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Benteng Ujung Pandang, Kota Makassar, menghadirkan diskusi menarik pada hari kedua. Topik utama yang dibahas adalah peran masyarakat pesisir dalam menjaga laut sekaligus memperkuat kedaulatan pangan dan ekonomi. Diskusi ini berlangsung dengan tema “Masyarakat Pesisir Menjaga Laut, Berdaulat Pangan dan Ekonomi”.

Salah satu sesi yang menarik adalah pengalaman nyata dari nelayan Pulau Lanjukang. Sejak 2022, mereka menerapkan sistem buka-tutup area tangkap gurita. Ketua Forum Passibuntuluki, Erwin, menjelaskan bahwa praktik ini lahir dari kekhawatiran terhadap penurunan hasil tangkapan dan kerusakan terumbu karang.

“Dulu hanya 1-2 mil dari pantai sudah dapat gurita. Sekarang harus sampai 6-7 mil,” ujar Erwin. Ia juga menyebut bahwa mereka belajar dari praktik di Wakatobi dan didukung oleh Yayasan Konservasi Laut Indonesia. Dalam satu tahun, ada tiga lokasi buka-tutup dengan luas sekitar 600 meter persegi per lokasi. Meski awalnya gagal, program keempat dan kelima menunjukkan hasil positif.

“Dalam satu sesi, 20 nelayan bisa menangkap lebih dari 50 kilogram gurita hanya dalam 1,5 jam,” tambahnya. Inovasi juga datang dari Pulau Lakkai, di mana kelompok Merpati Putih kini mengolah hasil laut yang tidak laku di pasar menjadi abon dan sambal.

Pendekatan Konservasi yang Berkelanjutan

Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Laut Indonesia (YKLI), Nirwan Dessibali, menekankan bahwa konservasi harus berbasis sosial, ekologi, dan ekonomi. Ia menjelaskan bahwa gurita merupakan spesies unik yang cepat tumbuh dan ramah lingkungan. Tujuannya adalah meningkatkan nilai ekonomi serta memberikan manfaat langsung kepada masyarakat.

Guru Besar Antropologi Maritim Universitas Hasanuddin, Prof. Munsi Lampe, menilai sistem buka-tutup sebagai wujud kearifan lokal. Menurutnya, konservasi tidak hanya tentang lingkungan, tetapi juga keberlanjutan sosial dan ekonomi. Ia menyarankan adanya kelembagaan nelayan, koperasi, industri olahan, serta pendidikan maritim berbasis budaya.

Diskusi juga membahas tantangan regulasi. Asad Asnawi dari Mongabay Indonesia menegaskan pentingnya perlindungan negara. Ia menyoroti bahwa inisiatif masyarakat akan sia-sia jika tidak diakui dan dilindungi dalam kebijakan yang jelas.

Proyek Bioenergi: Solusi Hijau atau Alibi?

Diskusi publik bertajuk “Bioenergi dan Perampasan Ruang Hidup: Solusi Hijau atau Alibi?” mengupas narasi “hijau” di balik proyek bioenergi yang justru mengancam ruang hidup masyarakat. Tiga narasumber yang hadir adalah Dominggus Mampioper (Tabloid Jubi), Amalya Reza (Juru Kampanye Bioenergi Trend Asia), dan Fatwa Faturrahman (Forest and Society Research Group UNHAS).

Amalya Reza menegaskan bahwa proyek bioenergi hanyalah wajah baru dari eksploitasi. Ia menyebut bahwa istilah “energi hijau” sering menyesatkan. “Ini bukan solusi, ini hanya baju baru dari praktik lama,” tegasnya.

Dominggus Mampioper mengangkat kasus penanaman tebu di Papua yang mencaplok dua juta hektar lahan adat. Ia menjelaskan bahwa masyarakat menolak karena kehilangan akses tanah sekaligus identitas.

Sementara itu, Fatwa Faturrahman mengkritik cara pandang dominan terhadap hutan yang hanya dianggap kumpulan pohon. Ia menilai bahwa hutan adalah identitas politik yang telah digunakan untuk menyingkirkan masyarakat adat dan petani sejak kolonial.

Menurut Fatwa, bioenergi lahir dari logika kapitalisme yang melihat alam sebagai komoditas transaksional. Ia menambahkan bahwa semangatnya sama dengan proyek hijau sebelumnya yang gagal karena mengabaikan aspek sosial.

Pesan Akhir

Dalam sesi tanya jawab, peserta menyoroti sikap pemerintah yang kerap mengabaikan suara masyarakat dan riset independen. Fatwa menegaskan bahwa rekomendasi akademik sudah ada, tetapi sering ditolak. Ia menilai bahwa pemerintah cenderung berada dalam posisi denial.

Seorang relawan Festival Media AJI menanyakan kemungkinan prediksi kapan hutan Indonesia habis. Meskipun belum ada data spesifik, para pembicara menyebut bahwa laju deforestasi yang terus meningkat sudah cukup memperlihatkan ancaman nyata: semakin sempitnya ruang hidup masyarakat adat dan petani.

Diskusi ini menutup dengan pesan utama: proyek bioenergi yang diklaim sebagai solusi hijau justru berpotensi menjadi alibi baru bagi perampasan ruang hidup rakyat.