
Kondisi Ekonomi yang Menghimpit di Mentok dan Parittiga
Di Kecamatan Mentok dan Parittiga, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, suasana pasar kini terasa jauh berbeda dari sebelumnya. Dahulu, warung kopi menjadi pusat interaksi warga, tetapi kini kursi-kursi kosong lebih sering terlihat. Aktivitas jual beli menurun tajam, mencerminkan kondisi ekonomi yang lesu dan tidak stabil. Tidak hanya itu, sebagian anak-anak bahkan memilih berhenti sekolah sementara karena orang tua kesulitan memenuhi biaya pendidikan.
Di tengah situasi sulit ini, penambangan rakyat kembali dianggap sebagai satu-satunya pilihan untuk bertahan hidup. Fenomena ini mencerminkan realitas pahit bahwa sebagian besar masyarakat Bangka Belitung masih sangat bergantung pada sektor timah sebagai tulang punggung perekonomian lokal.
Suara Rakyat yang Mengeluh
Seorang ibu rumah tangga, Titul (40), warga Kecamatan Mentok, mengungkapkan kegelisahannya. Dengan nada harap, ia meminta agar pemerintah daerah memberi ruang bagi masyarakat untuk menambang secara mandiri. "Kami tidak minta banyak, tambang rakyat dibuka itu saja. Anak kami mau makan dan sekolah," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Titul menyebut sekitar 70 persen masyarakat Bangka Belitung menggantungkan hidupnya pada pasir timah. Ia memahami bahwa ada regulasi yang mengatur pertambangan melalui Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT Timah. Namun, ia juga berharap pemerintah memberi kesempatan bagi penambang rakyat untuk tetap bekerja sembari menunggu kebijakan yang lebih jelas.
Menurut penuturannya, sebagian warga berinisiatif melakukan penambangan di kawasan Tembelok dan Keranggan. Kegiatan ini lahir dari kesadaran masing-masing dusun, bukan instruksi dari pihak tertentu. "Efek dari penambangan bukan cuma dirasakan masyarakat Tembelok saja, tapi juga membantu ekonomi warga Mentok. Kalau ada yang bertanya siapa yang menyuruh, kami siap menjelaskan. Tidak ada bos yang mengatur, hasil timah nanti akan dijual bebas," jelasnya.
Pernyataan ini menegaskan bahwa aktivitas penambangan rakyat muncul sebagai reaksi spontan terhadap kondisi ekonomi yang kian menghimpit.
Perempuan dalam Krisis
Menariknya, para ibu di Mentok juga siap turun tangan. Titul mengaku bahwa kaum perempuan bersedia menjaga lokasi aktivitas penambangan jika kembali dibuka. "Kami sudah capek. Anak kami butuh makan dan sekolah. Kalau tambang rakyat kembali beroperasi, itu bukan hanya membantu keluarga kami, tetapi juga perekonomian daerah setempat," tambahnya.
Hal ini menunjukkan bagaimana perempuan turut menjadi garda depan dalam memperjuangkan keberlangsungan hidup keluarga di tengah krisis.
Dilema Ekonomi dan Regulasi Pertambangan
Kondisi di Mentok dan Parittiga menggambarkan dilema besar antara kebutuhan ekonomi masyarakat dan regulasi pertambangan yang ketat. Pemerintah daerah dituntut mencari solusi seimbang dengan memastikan tambang rakyat bisa berjalan legal dan aman, sekaligus menjaga lingkungan.
Bagi masyarakat seperti Titul, tambang bukan hanya soal pekerjaan, tetapi juga soal masa depan anak-anak mereka. Harapan sederhana agar “anak bisa makan dan sekolah” menjadi simbol perjuangan ribuan keluarga yang kini menghadapi ketidakpastian ekonomi.
Ini merekam realitas bahwa lesunya pasar dan sepinya warkop di Mentok, Bangka Barat bukan sekadar cerita ekonomi biasa, melainkan gambaran krisis ekonomi dan sosial yang lebih perih. Penambangan rakyat muncul sebagai pilihan darurat yang dianggap mampu menggerakkan roda ekonomi rakyat kembali berputar.
Solusi Bersama untuk Masa Depan yang Lebih Baik
Pemerintah daerah, perusahaan, dan masyarakat perlu duduk bersama mencari jalan tengah. Sebab, di balik butiran pasir timah itu, tersimpan harapan sederhana yakni agar anak-anak tetap bisa sekolah dan keluarga-keluarga kecil di Bangka Belitung bisa bertahan hidup dengan layak.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!