
Pengalaman di Kayutangan Heritage
Ada sesuatu yang tak terlupakan saat berjalan-jalan di kawasan Kayutangan Heritage. Langkahku terhenti di depan sebuah kafe kecil, bukan karena aroma kopinya yang menggugah selera, kesibukan pramusaji, atau keramaian pengunjungnya, melainkan karena mural besar di dindingnya:
"Sal Priadi - Malang Suantai Sayang - kipa ilakes, mbois ilakes"
Tulisan sederhana ini seakan menyentuh hati. Kata-kata itu bukan hanya goresan cat di dinding, tapi telah menjadi lagu, simbol, bahkan pintu rindu. Dari sanalah Sal Priadi, musisi asal Malang, melahirkan karya penuh cinta untuk kampung halamannya.
Lagu "Malang Suantai Sayang"
Sal Priadi merilis single terbarunya berjudul "Malang Suantai Sayang" pada 15 Agustus 2025. Lagu ini lahir dari cinta dan kerinduan terhadap Kota Malang. Video klipnya digarap oleh anak-anak muda bertalenta di Malang, sederhana namun penuh jiwa. Latar mural di kafe itu menjadi saksi bisu betapa ruang kecil bisa menjadi panggung besar bagi budaya pop lokal.
Namun di balik keindahan dan romantisasi Malang dalam lagu itu, aku merasa terusik. Apakah Malang yang kusebut rumah ini masih benar-benar “suantai”?
Persembahan Hati dalam Lagu
Lagu "Malang Suantai Sayang" tidak hanya sebagai hiburan, tapi juga sebagai arsip emosional. Sal mempersembahkan hatinya pada kota kelahirannya. Ia menyimpan memori tentang Malang; tentang keramahan, kenangan, keunikan, dan jalan-jalan yang tetap memanggilnya pulang. Ia tuangkan semua dalam lirik-lirik lagunya.
Dalam salah satu baitnya, ia menyanyikan:
Kupersembahkan Malang
Dengan penuh keterusterangan
Tidak ada yang perlu kau takutkan
Kecuali kau habiskan siangmu di Jalan Kawi
Gendutlah, kau gendut
Jatuhlah hatimu
Bila setelah itu kau kejar
Pergi ke bukit-bukit
(Lihat apa di sana?)
Lihat sunset yang cantik
Bait itu terdengar seperti bisikan hangat dari seseorang yang jauh merantau. Aku pun teringat masa-masa ketika jauh dari rumah, lalu pulang ke Malang, muncul rasa yang begitu ringan: udara dingin yang menusuk tapi menenangkan, jalan-jalan kecil yang tak terburu-buru, dan wajah-wajah ramah di warung kopi pinggir jalan.
Keragaman Kuliner dan Keindahan Alam
Keragaman kuliner lokal Malang memanjakan perut, sehingga sulit untuk merasa lapar. Keindahan bukit, gunung, dan pantai selalu menyuguhkan pesona alam yang tak terkira. Namun terkadang aku bertanya-tanya: masihkah Malang menyimpan kenyamanan yang sama?
Kayutangan: Dari Heritage Jadi Hingar Bingar
Kayutangan Heritage kini menjadi daya tarik wisata. Jalan kuno dengan bangunan kolonial itu disulap jadi ruang estetik. Kafe-kafe berjejer, lampu jalan menyalakan suasana romantis, mural tumbuh di setiap sudut. Salah satunya mural “Malang Suantai Sayang” yang kini dikenal publik sebagai representasi identitas kota yang ditorehkan oleh Sal Priadi.
Aku suka sisi artistiknya, tapi juga merasa ada sesuatu yang tergerus. Kayutangan yang dulu suantai kini tak pernah benar-benar sepi. Orang datang bukan hanya untuk berjalan, tapi untuk memotret. Mobil dan motor berjejal, jalanan penuh sesak. Aku rindu berjalan santai tanpa harus menepi dari arus wisatawan.
Antara Nostalgia dan Realitas
Lagu "Malang Suantai Sayang" memotret Malang sebagai rumah, tempat pulang, dan tempat melepas lelah yang penuh kenyamanan. Namun realitas di luar lirik berbeda. Macet di simpang lima, antrean panjang di jalan Ijen, kepadatan di sekitar kampus dan kos-kosan mahasiswa, semua ini menandakan Malang tumbuh pesat, tapi sekaligus kehilangan ritmenya yang dahulu.
Dulu naik angkot di Malang bisa jadi pengalaman suantai: duduk di kursi panjang, bercakap dengan penumpang sebelah, bahkan menikmati udara sejuk yang masuk dari jendela terbuka. Sekarang, orang lebih memilih naik ojek online; cepat, efisien, tanpa basa-basi. Suantai itu perlahan menguap bersama modernitas.
Budaya Pop sebagai Arsip Kota
Aku melihat "Malang Suantai Sayang" sebagai lebih dari sekadar lagu pop. Ia adalah arsip budaya, cara generasi ini mengingat kotanya. Jika dahulu Malang diabadikan lewat karya sastra atau catatan sejarah, kini kota ini terekam dalam musik, mural, dan video klip anak muda.
Budaya pop punya cara unik untuk menyampaikan nostalgia. Ia bisa menjangkau anak-anak muda yang mungkin tak lagi mengenal Malang tempo dulu, tapi lewat lirik dan visual, mereka bisa merasakannya. Mural di kafe Kayutangan, yang awalnya hanya karya sederhana, kini bertransformasi jadi ikon karena disambungkan dengan lagu.
Namun budaya pop juga rawan jadi komoditas. Kata suantai yang dulu sederhana, kini bisa jadi tagline wisata, dijual sebagai branding kota. Di titik ini, aku khawatir: jangan sampai suantai hanya jadi dekorasi, sementara realitas Malang semakin jauh dari makna itu.
Pulang yang Tak Lagi Sama
Sebagai orang Malang, aku merasa lagu ini mengaduk rasa. Ada bahagia karena kotaku dikenal lewat karya seni, tapi juga ada getir karena realitasnya kontras. Saat bait lagu Sal mengungkapkan:
Ada satu tempat yang
Benar-benar suantai, sayang
Pemandangannya, tinggal sebut saja
Mau pantai ada, gunung-gunung juga
Bahkan yang lengkap, ada air terjunnya
Aku mengangguk setuju, karena Malang memang menyimpan ribuan pantai, memeluk keindahan gunung gemunung, dan kesejukan air terjunnya yang tiada tara. Dan inilah aset yang masih terjaga dan harus terus dijaga.
Barangkali pulang memang bukan soal kondisi kota, melainkan soal hati yang tetap mengenali rumahnya. Malang, meski berubah, tetaplah rumah. Mural “Malang Suantai Sayang” di kafe Kayutangan menjadi pengingat bahwa ada sisi kota yang masih ingin dipeluk, meski harus kita cari dengan lebih sabar di tengah keramaian.
Dan tak lupa aku berterima kasih pada Sal Priadi, namanya pun terukir dalam mural itu. Sebuah tanda mata yang akan terkenang sepanjang masa, selama dunia masih berputar layaknya nada-nada rindunya yang terus mengalun untuk kota Malang tercinta.
Suantai sebagai Doa
Kini setiap kali melewati Kayutangan dan melihat mural itu, aku tak lagi sekadar memandang dinding bergambar. Aku melihat doa yang digantungkan pada tembok: doa agar Malang tetap suantai, meski tantangan modernitas menggempurnya.
Lagu Sal Priadi bukan hanya sebuah karya musik; ia adalah cermin rindu, pengingat identitas, sekaligus kritik halus terhadap realitas. Malang Suantai Sayang adalah nada rindu pada rumah yang terus berubah, tetapi tetap memanggil kita untuk pulang karena kenangan dan keindahan alamnya yang masih terjaga.
Mungkin, suantai bukan lagi realitas sehari-hari, melainkan sikap hati. Dan dalam hatiku, Malang akan selalu menjadi “suantai, sayang”; tempat aku pulang, meski tak lagi sama.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!