
Dari Gaji Pas-pasan ke Pusat Literasi di Desa Tirtosuworo
Di sebuah desa kecil di Wonogiri, tepatnya di Desa Tirtosuworo, Kecamatan Giriwoyo, terdapat sebuah bangunan sederhana yang menjadi tempat anak-anak belajar dan bermimpi. Nama tempat ini adalah Rumah Baca Sang Petualang. Tempat ini awalnya berawal dari semangat seorang pria bernama Wahyudi yang ingin mengubah pola pikir generasi muda dengan memperkenalkan literasi.
Wahyudi mulai merasa gelisah ketika melihat anak-anak di kampungnya lebih akrab dengan permainan video daripada membaca buku. Dari situ, ia memutuskan untuk melakukan sesuatu. Meskipun gajinya sebagai penjaga pos polisi di Jakarta hanya Rp 600.000 per bulan, ia tetap menyisihkan uangnya untuk membeli buku-buku murah di Kwitang, Jakarta Pusat.
Selain itu, ia juga rajin mengikuti acara seperti Kick Andy, yang sering memberikan buku gratis kepada penonton. Dari hasil pengumpulan tersebut, pada tahun 2015, ia berhasil mengumpulkan sekitar seratus eksemplar buku. Buku-buku itu kemudian menjadi modal awal bagi pembukaan Rumah Baca Sang Petualang.
Perjalanan Awal yang Penuh Tantangan
Tidak mudah bagi Wahyudi untuk menjalankan inisiatifnya. Ia harus berjualan telur dadar sambil membawa buku keliling sekolah-sekolah. Ia menamakan usahanya ini “Ndok Dadar Pustaka”. Anak-anak tidak hanya bisa membeli makanan, tapi juga meminjam buku dari kotak kecil di gerobaknya.
Awalnya, anak-anak lebih tertarik pada makanan, namun lama-kelamaan mereka mulai penasaran dengan buku yang ada di gerobak. Dari situ, minat baca mereka mulai tumbuh.
Pada 2017, strategi media sosial yang dilakukan Wahyudi mulai membuahkan hasil. Ia rutin mengunggah foto aktivitas Rumah Baca Sang Petualang ke Facebook, termasuk kegiatan membaca bersama, lomba menulis, hingga kegiatan outbound. Dari sana, rumah baca ini mulai diliput oleh media dan menarik perhatian jaringan literasi nasional.
Puncaknya, pada tahun 2017, Wahyudi diundang ke Istana Negara oleh Presiden Joko Widodo sebagai salah satu dari 39 pegiat literasi terpilih. Selain itu, Rumah Baca Sang Petualang juga mendapat program “Kampung Literasi” dari Kementerian Pendidikan senilai Rp 100 juta.
Tantangan dan Perubahan
Meski sukses, Wahyudi tidak pernah mengira bahwa perjalanan akan mudah. Di awal, ia sempat menggunakan taman desa dengan dukungan kepala desa. Namun, masalah birokrasi sering menghambat. Ia sering diminta dokumen tanpa adanya bantuan nyata.
Akhirnya, pada 2023, ia memutuskan untuk pindah ke lokasi baru di Kecamatan Giritontro dengan menyewa rumah. Dukungan kemudian datang dari Badan Bahasa yang memberikan bantuan Rp 50 juta untuk berbagai kelas literasi.
Wahyudi juga bersyukur karena dua tahun lalu, Rumah Baca Sang Petualang mendapat dukungan dari JNE yang memberikan kendaraan roda tiga dan buku cerita untuk perpustakaan keliling.
Dampak Nyata dan Rencana Masa Depan
Setelah hampir sepuluh tahun berjalan, Rumah Baca Sang Petualang telah memberi dampak besar. Banyak anak-anak yang tadinya pemalu kini percaya diri dan bahkan menjuarai lomba mendongeng tingkat provinsi.
Melalui kelas komputer berbasis barter sampah, anak-anak juga belajar dasar-dasar teknologi. Wahyudi mengaku bangga melihat perubahan ini.
Ke depan, pengelola Rumah Baca Sang Petualang berencana membentuk yayasan agar gerakannya lebih luas. Yayasan ini akan bergerak di bidang kebencanaan dan kebudayaan, sesuai latar belakang para relawan.
Mereka juga tengah menyiapkan program pendidikan alternatif, seperti Paket B dan Paket C, agar anak-anak putus sekolah tetap bisa melanjutkan pendidikannya.
Harapan Wahyudi sederhana: Rumah Baca Sang Petualang tetap ada, tetap bermanfaat, dan terus menjadi tempat anak-anak belajar, tumbuh, dan bermimpi.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!