
Potensi Industri Baja Nasional dalam Mendorong Perekonomian
Industri baja nasional memiliki peran penting dalam membangun dan meningkatkan perekonomian negara. Dengan permintaan yang terus meningkat seiring dengan pembangunan infrastruktur, hilirisasi industri, serta pertumbuhan sektor manufaktur, pasar domestik diharapkan tumbuh pesat. Selain itu, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 6-8 persen. Untuk mencapai target tersebut, industri dalam negeri harus berperan aktif.
Namun, potensi ini masih menghadapi tantangan. Salah satu tantangan utama adalah maraknya impor baja yang telah memengaruhi kinerja industri dalam negeri. Oleh karena itu, strategi perlindungan menyeluruh dinilai sangat penting agar industri baja dapat bertahan dan menjadi pilar kemandirian ekonomi nasional.
Forum Komunikasi Ketahanan Industri Baja Nasional baru-baru ini mendeklarasikan dukungannya untuk memperkuat industri baja dalam negeri. Acara ini diadakan di Hotel Gran Melia Jakarta pada Jumat (12/9). Hadir dalam acara tersebut antara lain Direktur Eksekutif IISIA Harry Warganegara, Ketua Umum IZASI Stephanus Koeswandi, serta perwakilan dari berbagai asosiasi baja dari hulu ke hilir.
Dalam forum tersebut, semua anggota sepakat bahwa diperlukan tindakan nyata agar industri baja bisa bangkit dari keterpurukan akibat impor yang tinggi. Harry Warganegara menjelaskan bahwa industri baja merupakan pilar pembangunan nasional yang menghasilkan produk vital untuk berbagai sektor seperti HRC, CRC, HRP, BjLS, BjLAS, Baja Profil, hingga Baja Konstruksi. Namun, tanpa perlindungan dan kebijakan yang kuat dari pemerintah, industri ini terancam gulung tikar.
“Hal ini tidak hanya mengancam keberlangsungan perusahaan baja, tetapi juga multiplier effect yang dihasilkan industri baja terhadap perekonomian nasional, mulai dari penyerapan tenaga kerja, kontribusi pada sektor hilir seperti konstruksi dan manufaktur, hingga pajak dan devisa negara,” ujarnya.
Ketua Umum IZASI, Stephanus Koeswandi menambahkan bahwa masalah impor baja semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan data SEAISI, konsumsi baja nasional pada tahun 2024 mencapai 18,58 juta ton, dengan produksi domestik sebesar 15,82 juta ton. Di sisi lain, volume impor baja mencapai 8,72 juta ton, jauh melampaui ekspor yang hanya 5,96 juta ton.
Situasi ini mengakibatkan utilisasi kapasitas produksi domestik anjlok hingga kurang dari 40%. Hal serupa terjadi pada industri hilir dengan adanya lonjakan impor baja konstruksi yang sudah terfabrikasi atau Prefabricated Engineered Building (PEB) sebesar 712 ribu ton di tahun 2024.
Untuk mengatasi hal ini, Stephanus mengaku sedang belajar dari negara lain bagaimana mereka melindungi industri baja. Contohnya adalah Kanada yang menerapkan kuota impor yang transparan sehingga pemangku kepentingan dapat melihat apakah impor diperlukan atau tidak.
Dalam deklarasi tersebut, Ketua Umum ISSC Budi Harta Winata memaparkan enam sasaran utama dukungan kebijakan pemerintah yang ingin dicapai dalam waktu dekat:
- Pengetatan kuota impor dan pengawasan terhadap impor produk baja yang telah diproduksi di dalam negeri.
- Pemberlakuan moratorium investasi asing pada produk baja sejenis untuk menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan.
- Implementasi instrumen perlindungan perdagangan (BMAD & BMTP) yang efektif.
- Penguatan instrumen non-tarif seperti SNI dan TKDN.
- Harmonisasi tarif produk baja dari hulu ke hilir.
- Penghentian impor konstruksi baja terfabrikasi (Prefabricated Engineered Building/PEB).
Budi Harta berharap sasaran tersebut segera terlaksana. Ia bahkan memberi batas waktu bagi pemerintah baik legislatif maupun eksekutif agar segera melaksanakan keinginan Forum tersebut hingga hari Sumpah Pemuda yang akan jatuh pada tanggal 28 Oktober mendatang.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!