
Kasus Kekerasan terhadap Anak di Indonesia: Tantangan dan Harapan
Kasus penganiayaan yang menimpa anak berinisial MK (7) dengan pelaku ibu kandungnya, SNK, serta pasangan ibunya, EF alias YA atau “Ayah Juna”, kembali menjadi sorotan dalam upaya memperkuat perlindungan anak di Indonesia. Penyidik Bareskrim Polri telah menetapkan kedua tersangka tersebut dengan jeratan beberapa pasal hukum, termasuk UU Perlindungan Anak dan KUHP.
Kejadian ini dimulai ketika MK ditemukan dalam kondisi penuh luka di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, pada 11 Juni 2025. Dari hasil penyidikan, polisi mengungkap bahwa korban mengalami kekerasan fisik berat, termasuk disiram bensin, dibakar wajahnya, serta dipukul dengan kayu hingga mengalami patah tulang. Tindakan ini dinilai memenuhi unsur Pasal 76C juncto Pasal 80 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hingga 15 tahun penjara, serta Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan berat.
Kasus seperti ini bukanlah yang pertama kali melibatkan orang tua sebagai pelaku. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa rumah sering menjadi lokasi utama terjadinya kekerasan terhadap anak. Meski Undang-Undang Perlindungan Anak sudah mengatur secara tegas, implementasi di lapangan masih menghadapi kendala, baik dalam penegakan hukum maupun pemulihan korban.
Pakar hukum pidana menilai penerapan pasal berlapis terhadap EF dan SNK mencerminkan keseriusan aparat penegak hukum. Namun, tantangan lain tetap ada, seperti proses pembuktian unsur pembiaran yang dilakukan ibu korban, serta potensi adanya upaya hukum yang bisa meringankan hukuman pelaku. Dalam praktik, tidak sedikit kasus serupa yang berakhir dengan vonis lebih ringan dibanding ancaman maksimal.
Beberapa kasus sebelumnya juga menyita perhatian publik, seperti kasus penganiayaan Balita di Malang (2023) dan kasus anak korban kekerasan di Bekasi (2024). Pola yang terlihat adalah lemahnya sistem deteksi dini, lambannya intervensi, serta terbatasnya mekanisme perlindungan anak dari lingkaran terdekat mereka.
Di sisi lain, keberanian aparat untuk membawa kasus ini ke ranah hukum tanpa kompromi bisa menjadi momentum memperkuat pesan bahwa kekerasan anak adalah kejahatan serius yang tidak dapat diselesaikan secara damai. Dengan pasal yang tegas dan konstruksi hukum yang kuat, publik berharap vonis pengadilan nantinya bisa memberikan efek jera.
Meski kondisi MK kini berangsur membaik secara medis, pemulihan psikologis akan memakan waktu panjang. Negara melalui aparat penegak hukum dituntut tidak hanya menghadirkan keadilan melalui proses persidangan, tetapi juga memastikan korban mendapatkan pemulihan menyeluruh, termasuk dukungan psikososial jangka panjang.
Kasus ini pada akhirnya menegaskan bahwa penegakan hukum saja tidak cukup. Indonesia masih membutuhkan sistem perlindungan anak yang lebih kokoh, mulai dari edukasi masyarakat, peningkatan kapasitas aparat, hingga sinergi lembaga sosial dan pemerintah. Tanpa itu semua, kasus serupa berpotensi terus berulang di masa depan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!