
Kritik terhadap Penegakan Hukum di Indonesia
Meski Indonesia telah genap berusia 80 tahun sejak proklamasi kemerdekaan, isu korupsi masih menjadi topik yang menggema di masyarakat. Salah satu tokoh yang menyampaikan kritik tajam adalah Sudirman Said, Rektor Universitas Harkat Negeri Tegal. Ia menilai bahwa bangsa ini belum sepenuhnya bebas dari belenggu korupsi.
Pernyataan tersebut muncul pada saat pembebasan bersyarat terpidana korupsi e-KTP, Setya Novanto. Ia menyebut, “Kita memang berhak merayakan hari merdeka. Tapi sebenar-benarnya, negeri kita belum merdeka dari cengkeraman para koruptor dan perusak tata hidup bernegara”.
Sudirman Said lahir di Slatri, Brebes, Jawa Tengah pada 16 April 1963. Ia lulus dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan meraih gelar Master of Business Administration dari George Washington University, AS. Karier politik dan bisnisnya mencakup berbagai posisi strategis, seperti Direktur Utama PT Pindad (Persero), Wakil Direktur Utama PT Petrosea, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo periode 2014–2016. Selain itu, ia juga dikenal sebagai pendiri Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), lembaga yang aktif mendorong tata kelola pemerintahan dan korporasi yang bersih.
Kasus Korupsi e-KTP dan Peran Setya Novanto
Setya Novanto, mantan Ketua DPR RI dan tokoh senior Partai Golkar, terlibat dalam kasus korupsi proyek pengadaan KTP elektronik (e-KTP) yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun. Ia dinyatakan bersalah pada 2018 dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara, denda Rp500 juta, serta kewajiban membayar uang pengganti sebesar USD 7,3 juta.
Peran Setnov dalam kasus ini sangat sentral. Ia disebut sebagai aktor utama yang mengatur aliran dana dan pembagian proyek kepada sejumlah pihak di DPR dan Kementerian Dalam Negeri. Dalam proses hukum, ia sempat menghindar dari pemeriksaan dengan berbagai cara, termasuk berpura-pura sakit dan terlibat dalam kecelakaan mobil yang kontroversial.
Peninjauan Kembali dan Bebas Bersyarat: Prosedur dan Kontroversi
Pada 2025, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Setya Novanto. Vonisnya dipotong menjadi 12 tahun 6 bulan penjara, dan masa larangan menduduki jabatan publik dikurangi dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun. Setnov resmi bebas bersyarat pada 16 Agustus 2025, setelah menjalani dua pertiga masa pidana dan mendapat remisi selama 28 bulan 15 hari.
Menurut Dirjen Pemasyarakatan, pembebasan ini sesuai prosedur dan melalui asesmen yang ketat. Namun, publik mempertanyakan keadilan di balik keputusan tersebut. Sudirman Said menyebut, “Setya Novanto, terpidana korupsi yang selama dihukum pun terus menerus membuat ulah, hukuman kurungannya disunat. Dan sanksi larangan tidak boleh menjadi pejabat publik diperpendek”.
Apa Itu Remisi?
Dalam sistem hukum Indonesia, remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana yang memenuhi syarat tertentu. Berdasarkan PP No. 32 Tahun 1999 dan Permenkumham No. 3 Tahun 2018, remisi dapat berupa:
- Remisi Umum: Diberikan pada Hari Kemerdekaan RI (17 Agustus)
- Remisi Khusus: Diberikan pada hari besar keagamaan
- Remisi Tambahan: Untuk narapidana yang berprestasi atau berkontribusi sosial
- Remisi Kemanusiaan: Untuk narapidana lanjut usia atau sakit berat
Remisi bukan hak mutlak, melainkan penghargaan atas perilaku baik dan partisipasi dalam program pembinaan. Namun, dalam kasus korupsi, pemberian remisi sering menjadi sorotan karena dianggap melemahkan efek jera.
Alasan di Balik Remisi Setnov
Setnov disebut aktif dalam program pembinaan di Lapas Sukamiskin, termasuk menjadi inisiator klinik hukum dan kegiatan pertanian. Ia juga telah melunasi denda dan uang pengganti yang diwajibkan oleh pengadilan. Kepala Subdirektorat Kerja Sama Pemasyarakatan, Rika Aprianti, menyatakan bahwa tidak ada perlakuan khusus. “Semua narapidana berhak atas kesempatan yang sama untuk memperoleh bebas bersyarat, asalkan memenuhi syarat,” ujarnya.
Kritik Terhadap Penegakan Hukum
Sudirman Said menyoroti lemahnya penegakan hukum sebagai akar dari ketidakadilan sosial. Ia menyebut, “Yang bisa ‘beli’ hukum beroleh kenikmatan berlipat-lipat, yang bersalah bisa dibebaskan, yang harusnya dihukum berat bisa diringankan”. Ia menegaskan bahwa hukum yang berlumuran korupsi tidak menenangkan batin rakyat. “Kita dipertontonkan dengan pertunjukan telanjang betapa hukum kita tak menenangkan suasana batin rakyat kebanyakan,” tegasnya.
Profil Setya Novanto
Setya Novanto merupakan politikus asal Bandung, Jawa Barat yang kerap disapa dengan nama Setnov. Ia lahir di Bandung, 12 November 1955. Lahir dan tumbuh besar di Bandung, Setya Novanto menimba pendidikannya di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya dan lulus sarjana akutansi di fakultas ekonomi pada tahun 1979. Lalu ia melanjutkan pendidikannya pada bidang akutansi manajemen di Universitas Trisakti Jakarta pada tahun 1983.
Sebelum memulai karier politiknya, Setya Novanto membangun karier bisnis di beberapa perusahaan seperti CV Mandar Teguh yang ia dirikan hingga bisnis perhotelan. Karier politik dimulai Setya Novanto pada tahun 1974 sebagai kader Kosgoro. Dilanjutkan dengan menjabat sebagai Anggota DPR RI selama beberapa periode sejak 1999-2017. Setya Novanto juga menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkas DPR RI pada 2009-2014. Setya Novanto juga sukses menjadi Ketua DPR RI selama dua periode dari 2014-2017.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!