
Perseteruan Hukum yang Melibatkan Tokoh Besar Media
Sebuah perseteruan hukum yang menimbulkan perhatian luas kembali muncul, kali ini melibatkan nama besar pengusaha Indonesia, Hary Tanoesoedibjo. Sebagai pemimpin MNC Group, ia kini menjadi terdakwa dalam gugatan yang mencapai nilai fantastis, yaitu sebesar Rp119 triliun.
Gugatan ini dilakukan oleh PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP), yang dimiliki oleh Jusuf Hamka. Gugatan ini berawal dari transaksi lama yang terkait dengan Negotiable Certificate of Deposit (NCD) senilai 28 juta dolar AS pada Mei 1999. Sampai saat ini, transaksi tersebut masih belum dapat dicairkan, sehingga menjadi dasar bagi CMNP untuk mengajukan tuntutan.
Dalam gugatan yang telah diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, CMNP menuntut ganti rugi sebesar Rp103 triliun secara materiil dan Rp16 triliun secara immateriil. Selain Hary Tanoe, pihak yang juga dituju adalah PT MNC Asia Holding Tbk, Tito Sulistio, dan Teddy Kharsadi.
Penolakan dari Pihak MNC Group
Menanggapi gugatan tersebut, pihak MNC Asia Holding menyatakan penolakan terhadap tuduhan yang diajukan. Direktur MNC, Tien, menjelaskan bahwa perusahaan hanya bertindak sebagai arranger antara CMNP dan Unibank. Ia menegaskan bahwa dana sepenuhnya diterima oleh Unibank, sementara MNC hanya mendapat komisi sebagai arranger. Oleh karena itu, gugatan seharusnya ditujukan kepada Unibank, bukan MNC.
Kuasa hukum MNC, Hotman Paris Hutapea, menambahkan bahwa kasus serupa pernah diajukan ke Unibank sebelumnya, namun ditolak di semua tingkat pengadilan. Ia menekankan bahwa dana sebesar 17,4 juta dolar AS telah diterima langsung oleh Unibank, yang kemudian menerbitkan zero coupon bond senilai 28 juta dolar AS. Hotman menegaskan bahwa uang tersebut 100 persen masuk ke Unibank, sementara Bhakti Investama (sekarang MNC) hanya menerima komisi sebagai arranger.
Lebih lanjut, Hotman mengingatkan bahwa CMNP sebenarnya sudah pernah menggugat Unibank sebelumnya, namun gugatan tersebut kandas di semua tingkat pengadilan, termasuk Mahkamah Agung. Ia menantang CMNP untuk membuktikan adanya pemalsuan dokumen jika mereka tetap bersikeras pada tuntutan mereka.
Penolakan Mediasi dan Permintaan Penyitaan Aset
Sidang perdana kasus ini digelar pada Rabu, 13 Agustus 2025. Kuasa hukum CMNP, R. Primaditya Wirasandi, menegaskan bahwa pihaknya menolak mediasi karena menilai Hary Tanoe telah mengingkari kesepakatan awal. CMNP juga meminta agar seluruh aset milik Hary Tanoe dan PT MNC Asia Holding disita, dengan alasan bahwa aset yang ada tidak sebanding dengan kerugian yang mereka klaim.
Selain perkara perdata, laporan pidana terkait dugaan pemalsuan dokumen dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) juga telah diajukan ke Polda Metro Jaya dengan Hary Tanoe sebagai terlapor utama.
Profil Hary Tanoe: Raja Media dengan Kekayaan Rp22 Triliun
Meskipun kini diguncang gugatan triliunan rupiah, Hary Tanoesoedibjo masih tercatat sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia. Menurut data terbaru Forbes, kekayaannya mencapai 1,4 miliar dolar AS (sekitar Rp22 triliun). Ia adalah pemilik MNC Group, yang membawahi 62 stasiun televisi, 4 stasiun radio, surat kabar, serta bisnis besar di sektor properti melalui MNC Land.
Salah satu proyek ambisiusnya adalah Lido City yang mencakup pusat musik, lapangan golf, hingga resor dengan brand Trump. Keluarga Hary Tanoe juga aktif dalam mengelola bisnis. Putrinya, Angela Tanoesoedibjo, kini menjabat co-CEO MNC Group setelah sebelumnya menjadi Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Ujian Besar untuk Hary Tanoe
Gugatan Rp119 triliun ini menjadi salah satu ujian hukum terbesar bagi Hary Tanoesoedibjo sepanjang kariernya. Jika dikabulkan, gugatan tersebut berpotensi mengguncang keuangan dan reputasi MNC Group, yang selama ini menjadi salah satu konglomerasi media dan properti terbesar di Asia Tenggara.
Sidang perkara ini masih akan berlanjut, dan publik menanti apakah gugatan fantastis ini akan berdampak serius terhadap imperium bisnis Hary Tanoe, atau justru berakhir seperti gugatan-gugatan sebelumnya yang kandas di meja hijau.
Rekam Jejak Jusuf Hamka
Mohammad Jusuf Hamka atau juga dikenal dengan nama Babah Alun lahir di Jakarta pada 5 Desember 1957 dengan nama Jauw A Loen atau Alun Joseph. Dia seorang politisi, motivator dan pengusaha Muslim Tionghoa-Indonesia. Dia juga pernah menjadi bendahara Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo dan Ma'ruf Amin. Politikus Partai Golongan Karya ini juga menjabat staf khusus di Kementerian Sosial Republik Indonesia.
Jusuf Hamka resmi memeluk agama Islam saat bertemu Buya Hamka di usianya yang menginjak 23 tahun. Ia pun mengucapkan 2 kalimat syahadat di bawah bimbingan Buya. Jusuf Hamka tumbuh di keluarga yang terpelajar. Orang tua Jusuf tergolong moderat. Ayahnya Dr. Joseph Suhaimi, S.H. (Jauw To Tjiang), seorang dosen Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, dan ibunya Suwanti Suhaimi (Siaw Po Swan), seorang guru.
Lahir dari keluarga akademisi, Jusuf Hamka ternyata pernah mengenyam pendidikan hukum dan kedokteran secara bersamaan. Dia juga pernah belajar di Kanada. Berikut riwayat pendidikannya: * Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (1974) * Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti (1974) * Bisnis Administrasi Columbia College, Kanada (1977) * Administrasi Negara FISIP Universitas Jayabaya (1980)
Jusuf Hamka memimpin beberapa perusahaan, di antaranya sebagai Komisaris Utama PT Mandara Permai, Komisaris Independen PT Indomobil Sukses Internasional Tbk, Komisaris PT Indosiar Visual Mandiri, Komisaris PT Citra Margatama Surabaya serta Komisaris PT Mitra Kaltim Resources Indonesia. Jusuf Hamka juga ayah dari Direktur Utama PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk. (CMNP), Fitria Yusuf.
Dalam akun YouTube resmi milik Yuni Shara (Yuni Shara Channel) dijelaskan, Jusuf Hamka merupakan seorang pengusaha yang dermawan. Sosoknya cukup dikenal baik karena sifat dermawannya. Jusuf kerap bersedekah dengan menjual nasi kuning murah seharga Rp 3.000 atau bahkan gratis. Sedekah itu ditujukan untuk kaum fakir miskin dan dhu`afa. “Kalau pernah ditolong, ya harus mau menolong orang lain,” kata Jusuf Hamka.
Menjadi seorang pengusaha jalan tol di tanah air yang sukses tidak membuatnya lantas menjadi pribadi yang angkuh. Saat memberikan sedekah kepada kaum papa itu langsung dilakukan sendiri. Dengan bermodalkan tempat kecil yang sederhana, ia memberikan makanan kepada siapa pun. Prinsip dan sifat dermawan itu tetap dijalani, bahkan setelah menjabat sebagai pengusaha sukses jalan tol dan Ketua Organisasi Muslim Tionghoa. Bagi Jusuf, menjadi seorang pengusaha yang sibuk tak lantas membuatnya jauh dari keluarga. Jusuf tetap dekat dengan istri dan ketiga anaknya serta mengajarkan sifat kedermawanannya itu kepada keluarganya. Hal itu terlihat ketika anaknya yang bernama Fitria Yusuf dan Feisal Hamka turut serta dalam berbagi sedekah nasi kuning kepada orang-orang yang membutuhkan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!