Gen Z yang Terlambat Mengagumi Cak Munir

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Kenangan dan Perjuangan Cak Munir yang Membuka Cakrawala

Hari ini, saya merayakan hari kelahiran saya yang ke-24. Tapi yang membuat saya merasa berat adalah kesadaran bahwa salah satu tokoh perjuangan HAM terbaik Indonesia, Munir Said Thalib, sudah tidak lagi ada di dunia ini. Sebagai seorang generasi Z yang lahir pada tahun 2001, saya mengakui bahwa pengetahuan saya tentang sejarah HAM di Indonesia sangat minim. Pendidikan di sekolah hanya memberi saya sedikit informasi, dan sering kali nilai yang saya dapatkan buruk. Kini, di usia 24 tahun, saya menyesal karena tidak mengenal beliau lebih awal.

Perkenalan pertama saya dengan Cak Munir terjadi ketika saya masih duduk di bangku SD. Saya melihat poster hitam putih di sudut jalan kota dengan wajah siluet seorang pria, mungkin keturunan Arab, bertuliskan “Menolak lupa!” Saat itu, saya bertanya kepada ibu saya, “Itu gambar apa Ma?” Ibu menjawab singkat, “Itu Munir, dia aktivis.” Itu saja informasi yang saya dapatkan, dan sebagai anak SD, saya bahkan melupakan beliau. Informasi itu tidak cukup menarik untuk saya pelajari lebih dalam.

Saya tumbuh tanpa mencoba mengenal Cak Munir lebih dekat. Hanya sesekali saya mendengar namanya saat bersama teman SMA, tapi saya lupa konteksnya. Namun, suatu momen akhirnya mengubah pandangan saya. Saat itu, saya sedang membaca buku 1984 karya George Orwell di toko buku Yogyakarta. Minat saya terhadap politik sedang tinggi, dan saya ingin memahami isu-isu ketidakadilan di Indonesia.

Di tengah membaca, seorang teman merekomendasikan buku berjudul Kami Sudah Lelah dengan Kekerasan karya Matt Easton. Buku ini baru saja ia baca dan ia rekomendasikan kepada banyak orang. Meskipun tebal, buku ini memiliki gaya baca yang enak. Saya membelinya karena sedang dalam mood belajar sejarah politik Indonesia.

Buku ini merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris, ditulis oleh penulis asal Amerika dan diterbitkan oleh Marjin Kiri. Di dalamnya, tidak hanya dibahas perjalanan Cak Munir, tetapi juga berbagai kasus HAM di Indonesia yang ia perjuangkan. Buku ini menceritakan awal perjalanan Cak Munir sebagai aktivis hingga kematian beliau. Selain itu, buku ini juga menjelaskan bagaimana perjuangan Cak Munir dilanjutkan oleh banyak pihak hingga terbentuknya Aksi Kamisan yang masih rutin diadakan hingga kini.

Membaca buku ini seperti membuka cakrawala bagi saya. Banyak informasi yang membuat saya terkejut, seperti kasus Marsinah, Semanggi I, dan Semanggi II. Semua ini dijelaskan melalui perjuangan Cak Munir, yang gigih dan tulus dalam membantu korban kekerasan HAM di Indonesia.

Ada satu momen yang membuat saya meneteskan air mata, yaitu saat buku ini menjelaskan detik-detik Cak Munir meninggal di pesawat. Betapa kuatnya beliau menghadapi saat-saat terakhirnya. Apakah beliau tahu bahwa dirinya akan tetap abadi? Apakah beliau tahu perjuangannya akan dilanjutkan oleh seluruh rakyat Indonesia? Saya tidak tahu, tapi satu hal yang saya pikirkan adalah, saya ingin mengenang Cak Munir selama yang saya bisa.

Membaca perjalanan hidup Cak Munir berarti mempelajari sejarah perjuangan keadilan HAM di Indonesia. Nama beliau tidak bisa dipisahkan dari perjuangan tersebut. Mengenang Cak Munir bagi saya adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan, impunitas, dan kekerasan yang seharusnya tidak dilakukan oleh siapa pun.

Saya baru berumur 3 tahun saat Cak Munir meninggal. Bahkan, saya baru mengakrabkan diri dengan beliau 20 tahun kemudian. Hal ini membuat saya menyesal. Andai saja saya sudah mengenal Cak Munir sejak SMA, mungkin saya bisa menghidupkan beliau lebih awal. Andai saya hidup di zamannya, mungkin saya bisa memberi sedikit bantuan yang bisa saya lakukan.

Walaupun begitu, izinkan saya ikut merapatkan barisan dengan orang-orang hebat yang telah mengabadikan nama beliau sejak lama. Kini, jasad Cak Munir sudah dikuburkan lebih dari 21 tahun. Secara fisik, saya sangat terlambat untuk mengagumi beliau, untuk hidup beriringan dengan beliau. Namun satu hal yang pasti, saya akan terus berjuang untuk menghidupkan Cak Munir. Melanjutkan perjuangannya dengan cara yang bisa saya lakukan. Membuat perjuangannya abadi, setidaknya sampai kita menang.

Mengutip perkataan Eiichiro Oda dari komik One Piece, “Kapan seorang manusia mati? Saat jantung mereka terkena peluru senjata? Bukan. Saat mereka menderita penyakit yang tak bisa disembuhkan? Bukan. Saat mereka makan jamur beracun? Juga bukan. Tapi saat mereka telah dilupakan oleh orang lain.” Cak Munir tidak pernah mati akibat racun yang ditelannya, Cak Munir hidup melalui napas perjuangan kita semua.

Pada akhirnya, tulisan singkat ini adalah surat permohonan maaf saya yang terlambat mengagumimu, Cak.