Ruang Kecil, Gugatan Besar: Kisah di Sudut Baca Rumah Buku SaESA

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Ruang Baca yang Berani di Desa Bontonyeleng

Di tengah jalan desa yang berdebu dan penuh lubang, terdapat sebuah rumah panggung tua. Catnya mulai mengelupas, sedangkan kayu-kayu di dindingnya berderit setiap kali angin berhembus. Dari luar, tidak ada yang istimewa. Tidak ada plang nama atau tanda resmi seperti kantor desa atau sekolah. Hanya sebuah pintu kayu dengan stiker yang hampir menutupi seluruh permukaannya.

Namun, ketika pintu itu dibuka, suasana berubah drastis. Ruangan sempit ini dipenuhi buku. Bukan buku yang rapi seperti di perpustakaan resmi, melainkan buku-buku yang digantung dengan tali, berserakan di meja, atau ditumpuk di sudut ruangan. Aroma kertas lama bercampur dengan aroma kopi hitam dan asap rokok, menciptakan atmosfer yang unik dan tidak biasa.

Itulah Rumah Buku SaESA. Nama sederhana, tapi semangat di dalamnya sangat kuat. Pengetahuan yang lahir dari keresahan.

Pengetahuan yang Lahir dari Keresahan

Sakkir, seorang lelaki berusia 28 tahun, menjelaskan bahwa tempat ini tidak ingin seperti perpustakaan resmi yang steril. "Sudut Baca harus liar dan bebas. Karena pengetahuan memang seharusnya liar," katanya.

Rumah Buku SaESA tidak lahir dari anggaran pemerintah atau program CSR perusahaan besar. Ia muncul dari sumbangan kecil: buku-buku bekas dari gudang toko dan energi keresahan yang sulit dibendung. Keresahan ini sederhana tetapi tajam: sekolah terlalu fokus pada kurikulum, sementara akal sehat dibiarkan kering. Anak-anak tumbuh dengan buku pelajaran yang lebih mirip manual kepatuhan daripada percikan imajinasi.

Membaca untuk Merdeka

Di SaESA, membaca bukanlah soal nilai. Membaca adalah cara untuk meruntuhkan tembok kepatuhan yang terasa seperti penjara. Buku di sini bukan alat ukur prestasi, melainkan pintu untuk keluar dari belenggu. Sore itu di Desa Bontonyeleng, suara kehidupan terdengar biasa: ayam berkokok, anak-anak bermain, para petani pulang dengan pakaian berdebu. Tapi di dalam rumah panggung itu, percakapan lain tengah tumbuh—percakapan yang menolak diam.

“Di sini, orang belajar bukan untuk patuh, tapi untuk membangkang,” kata Sakkir. Tangannya memegang buku Bakunin: God and The State, matanya menatap halaman dengan sorot tajam.

Arena Pertarungan, Bukan Ruang Tenang

Bagi mereka, Sudut Baca SaESA bukanlah ruang tenang, melainkan arena pertarungan ide. Setiap halaman yang dibuka adalah percikan api. Diskusi berlangsung keras, suara saling menindih, tapi justru di situlah keberanian diuji. Tidak ada kebenaran mutlak.

Buku bukan kitab suci; ia bisa diperdebatkan, dibanting, bahkan ditinggalkan jika tak lagi relevan. Anak-anak dan remaja yang datang ke SaESA belajar untuk berani mempertanyakan apa pun, bahkan hal-hal yang dianggap tabu di sekolah formal.

Dan di situlah letak bahayanya. Bahaya bukan bagi masyarakat, melainkan bagi sistem yang sudah lama terbiasa menuntut diam dan patuh.

Pemerintah Gelisah, SaESA Teguh

Atmosfer bebas seperti itu membuat penguasa lokal tidak sepenuhnya nyaman. Pemerintah desa pernah berkomentar sinis: “Ngapain bikin tempat aneh-aneh begitu?” Sindiran yang menyiratkan ketakutan akan hal-hal di luar kendali mereka.

Namun, bagi SaESA, sindiran itu hanya menjadi bahan bakar. “Justru karena sekolah dan perpustakaan resmi tidak cukup, kami bikin Sudut Baca—bahkan sekolah yang tidak tunduk pada sistem pemerintah. Kalau semua orang hanya membaca apa yang ditentukan pemerintah, bagaimana kita bisa berpikir bebas?” balas Sakkir.

Kata-katanya meluncur dengan mantap, seolah sudah lama dipendam. Ia tahu betul, membiarkan orang hanya membaca buku yang ditentukan penguasa sama saja dengan membunuh kebebasan berpikir.

Membaca, Bertanya, Menggugat

Dari balik kesederhanaannya, SaESA memang terasa berbahaya. Bukan bahaya yang melahirkan kriminal, melainkan bahaya yang menyalakan api kesadaran. Dan kesadaran, bagi kekuasaan, adalah musuh yang paling ditakuti.

“Orang bisa dikendalikan selama ia tidak berpikir. Begitu ia membaca, ia akan bertanya. Begitu bertanya, ia akan menggugat,” ucap Sakkir. Kalimat itu lebih mirip vonis ketimbang sekadar pendapat.

Dan dari situlah, SaESA menemukan dirinya: ruang kecil yang berani menggugat, bukan dengan senjata, tapi dengan pikiran.

Bom Waktu dari Desa Bontonyeleng

Sudut Baca SaESA adalah bom waktu. Bom yang berdetak di tangan anak-anak desa yang muak dengan janji kosong. Bom yang tidak akan meledak dalam dentuman fisik, melainkan dalam pikiran yang tak lagi bisa dibungkam.

Setiap buku yang dipinjam, setiap diskusi yang berlangsung, adalah detik-detik yang mempercepat dentuman itu. Dentuman yang akan mengguncang bukan hanya desa Bontonyeleng, tapi siapa pun yang percaya bahwa diam adalah satu-satunya pilihan rakyat kecil.

“Jangan kira ini ruang santai,” ujar Sakkir menutup percakapan. “Sudut Baca adalah ancaman bagi siapa saja yang ingin rakyat tetap diam.”

Dari sebuah ruangan kecil dengan cat mengelupas, ancaman itu terus tumbuh—diam-diam, tapi pasti.