
Dipublikasikan pada, 6 September -- 6 September 2025 1:49 AM
Permintaan yang terus-menerus dari Dhaka untuk permintaan maaf resmi Pakistan atas peristiwa tahun 1971 terdengar seperti gempa diplomatik yang berulang. Meskipun Bangladesh memandangnya sebagai hal penting untuk keadilan sejarah dan penyelesaian, analisis kritis dari perspektif Pakistan menunjukkan narasi yang jauh lebih kompleks daripada sekadar permintaan penyesalan. Ini memerlukan pemeriksaan mengenai krisis sejarah, ketidaklayakkan permintaan saat ini, dan tanggung jawab bersama yang sering kali diabaikan dalam fokus tunggal Dhaka.
Pandangan Pakistan terhadap tahun 1971 tidak hanya melalui lensa tindakan militer, tetapi sebagai akhir yang tragis dari krisis politik yang diperparah oleh intervensi eksternal. Penolakan untuk menyerahkan kekuasaan setelah kemenangan partai Awami League dalam pemilu tahun 1970 menciptakan deadlock konstitusional. Pakistan berpendapat bahwa program Enam Poin membahayakan persatuan nasional dan berkontribusi pada kebuntuan politik. Inti dari narasi Pakistan adalah peran India dalam peristiwa tersebut. India dituduh memberikan pelatihan, senjata, dan tempat perlindungan kepada pasukan pemberontak Mukti Bahini, campur tangan dalam urusan internal Pakistan. Konflik itu sendiri melibatkan tidak hanya Angkatan Darat Pakistan dan Mukti Bahini tetapi juga bentrokan kekerasan antara kelompok pro-Pakistan, nasionalis Bengali, serta kekerasan antar komunitas yang signifikan. Pakistan berargumen bahwa perang memburuk karena intervensi India, yang memicu kekerasan di berbagai front.
Permintaan Bangladesh akan permintaan maaf resmi dari Pakistan, meskipun didorong secara emosional dan moral, memerlukan pertimbangan yang cermat. Meskipun tidak diragukan lagi bahwa peristiwa tahun 1971 adalah bencana yang meninggalkan luka mendalam, permintaan akan permintaan maaf tidak dapat dilihat secara terpisah dari konteks politik dan militer pada masa itu. Salah satu aspek utama dari permintaan Bangladesh adalah pengakuan atas kekejaman yang dilakukan selama Operasi Searchlight. Namun, berargumen bahwa Pakistan sendiri harus menanggung tanggung jawab penuh atas tindakan-tindakan ini melewatkan realitas geopolitik penting. Aliansi Bangladesh dengan India selama perang tidak dapat diabaikan. Intervensi militer langsung India dalam dukungan terhadap Mukti Bahini akhirnya menyebabkan pemisahan East Pakistan. Pembentukan Mukti Bahini sendiri bukanlah gerakan murni lokal. Dukungan India terhadap kelompok tersebut, baik secara militer maupun diplomatik, memastikan bahwa pembagian Pakistan berjalan lancar, meskipun dengan biaya manusia yang tinggi.
Dari perspektif Islamabad, pengakuan resmi dianggap sebagai pengakuan kesalahan tunggal, yang berpotensi membuka pintu untuk ganti rugi dan tindakan hukum internasional. Hal ini bertentangan secara mendasar dengan narasi Pakistan tentang agresi India dan konflik internal. Meskipun Pakistan mengakui penderitaan warga sipil, ia mempersepsikannya dalam konteks perang, pemberontakan, dan kekerasan timbal balik, menyangkal adanya kebijakan negara genosida. Ganti rugi dianggap tidak ekonomis dan tidak politis layak, karena mengimplikasikan penerimaan tanggung jawab yang secara keras ditentang Pakistan. Mengenai kembalinya warga Pakistan yang terjebak, sering disebut sebagai Biharis, Pakistan menunjuk pada kegagalan Bangladesh sendiri dalam menyelesaikan status komunitas ini yang setia mendukung Pakistan, melihatnya sebagai tanggung jawab Dhaka. Mengenai proses pengadilan pelaku kejahatan perang, Pakistan menganggap pengadilan domestik Bangladesh sebagai keadilan pemenang yang dipengaruhi politik dan menolak tanggung jawab atas tentaranya.
Posisi Pakistan terhadap peristiwa 1971 selama beberapa dekade tetap beragam, dengan para pemimpin berturut-turut membuat pernyataan yang baik mengakui kekejaman atau membela tindakan militer selama konflik. Zulfikar Ali Bhutto, selama Konferensi Islam di Lahore pada tahun 1974, menyampaikan "penyesalan atas kesalahan yang mungkin dilakukan oleh kedua pihak," dengan membingkai penderitaan sebagai saling. Pada tahun 2002, Jenderal Pervez Musharraf memberikan pernyataan yang paling langsung: "Saya ingin menyampaikan penyesalan saya atas kekerasan yang dilakukan pada tahun 1971." Secara krusial, ia menyampaikan hal ini selama kunjungan ke Bangladesh tetapi menekankan pentingnya melangkah maju bersama. Para pemimpin berikutnya seperti Nawaz Sharif, Asif Zardari, dan Imran Khan secara umum lebih memprioritaskan hubungan yang berorientasi masa depan, menghindari penyelidikan mendalam terhadap tahun 1971. Pernyataan-pernyataan ini menunjukkan ketidakmampuan untuk mengucapkan permintaan maaf secara langsung tetapi menunjukkan pengakuan yang berkembang terhadap rasa sakit yang ditimbulkan. Namun, para pemimpin Pakistan sering menekankan konteks geopolitik pada masa itu, dinamika politik internal, serta peran penting aktor eksternal seperti India.
Kolaborasi Bangladesh dengan India pada tahun 1971 memainkan peran penting dalam hasil perang tersebut. Keterlibatan India tidak murni kemanusiaan; hal ini didorong oleh pertimbangan geopolitik. India melihat kesempatan untuk melemahkan Pakistan dan memperkuat dominasinya di kawasan dengan mendukung pembagian negara tersebut. Ini menimbulkan pertanyaan yang tidak nyaman: apakah Bangladesh juga harus ditanyai mengenai perannya sendiri dalam peristiwa yang menyebabkan pembagian Pakistan? Kolaborasi antara Mukti Bahini dan pasukan India sangat berpengaruh dalam mencapai kemerdekaan. Namun, kolaborasi ini juga berarti bahwa pemisahan Bangladesh bukanlah semata-mata akibat ketidakpuasan internal, tetapi juga intervensi dan pengaruh eksternal. Memperumit diskusi ini adalah fakta bahwa sifat tindakan Pakistan di Pakistan Timur tidak bersifat satu arah. Tekanan dilakukan dengan keyakinan bahwa itu diperlukan untuk menjaga persatuan nasional. Negara melihat pemberontakan yang meningkat bukan sebagai gerakan politik terisolasi, tetapi sebagai ancaman terhadap stabilitas seluruh negara. Dari sudut pandang ini, tindakan militer, meskipun keras, dianggap sebagai keharusan yang tidak diinginkan dalam menghadapi separatis dan campur tangan luar negeri.
Pandangan Pakistan terhadap tuntutan maaf tahun 1971 berakar pada interpretasi sejarah yang secara mendasar berbeda—yang menekankan kegagalan politik, agresi India, dan tanggung jawab bersama dalam tenggelamnya kekerasan yang tragis. Meskipun ekspresi penyesalan atas penderitaan telah diberikan, maaf resmi tetap tidak mungkin secara politik dan dipersoalkan secara historis. Dari perspektif ini, jalan maju tidak terletak pada mengeluarkan sebuah kata yang menggambarkan kekalahan dan kesalahan tunggal bagi Pakistan, melainkan pada memupuk pemahaman yang lebih kompleks dan berbasis bukti tentang peristiwa-peristiwa rumit tahun 1971—yang mengakui peran kegagalan politik di kedua sayap, campur tangan luar negeri, serta biaya manusia yang mengerikan di semua pihak. Penutupan yang sebenarnya mungkin membutuhkan Dhaka untuk juga menghadapi pilihan sulit yang dibuat oleh kepemimpinan pendirinya dalam mengaliansikan diri dengan India, pilihan-pilihan yang, dari perspektif Islamabad, menjadi kunci dalam pembagian negara tersebut. Sampai refleksi saling terjadi, tuntutan maaf akan tetap menjadi gema yang tidak terselesaikan dari masa lalu yang menyakitkan dan dipersoalkan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!