
Pengalaman Commuting yang Mengubah Perspektif Hidup
Setiap pagi di kota-kota besar Indonesia, jutaan orang memulai hari dengan satu rutinitas yang sama: perjalanan ke tempat kerja. Bagi mereka, perjalanan ini bukan sekadar perpindahan fisik, melainkan juga tantangan mental yang memengaruhi suasana hati sepanjang hari. Terjebak dalam kemacetan, menghadapi polusi, berpacu dengan waktu, serta menghadapi aturan lalu lintas seperti sistem ganjil-genap, membuat commuting menjadi pekerjaan tambahan yang tidak tercatat dalam kontrak kerja.
Pengalaman pribadi saya menggambarkan bagaimana commuting bisa sangat melelahkan. Selama lima tahun, tepatnya sejak 2017 hingga akhir 2022, saya bertugas di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta II yang terletak di Jalan Wahidin II Nomor 3, Jakarta Pusat. Saat itu, saya tinggal di rumah dinas di Jalan Anggaran, Kota Tangerang, berjarak sekitar 20 kilometer dari kantor. Jarak ini terlihat biasa saja, namun bagi warga Jabodetabek, 20 kilometer bisa berarti 45 menit atau dua jam penuh tekanan, tergantung kondisi lalu lintas.
Mobil dan Motor: Dua Pilihan dengan Konsekuensi
Setiap pagi, saya seperti seorang pemain catur yang harus berpikir langkah demi langkah. Jika tanggal genap, saya lega karena bisa menggunakan mobil berplat genap. Dengan memanfaatkan jalan tol, perjalanan bisa lebih singkat, sekitar 45 menit, asalkan saya berangkat paling lambat pukul 05.45 WIB. Lewat dari itu, risiko terjebak macet di pintu tol atau jalur dalam kota meningkat drastis.
Namun pada tanggal ganjil, pilihan saya terbatas: harus naik motor. Meskipun transportasi umum seperti Busway atau KRL tersedia, lokasi halte busway atau stasiun jauh dari rumah. Sepeda motor tidak terkena aturan ganjil-genap, tetapi konsekuensinya jelas. Jalur alternatif yang dilewati motor jauh lebih padat dan melelahkan. Debu jalanan, suara klakson yang riuh, hingga cuaca ekstrem kerap membuat perjalanan terasa dua kali lebih panjang. Tubuh lebih cepat letih, pikiran pun gampang jenuh.
Kedua pilihan ini, mobil atau motor, sama-sama menguras energi. Mobil memberi kenyamanan, tetapi tetap menyimpan risiko keterlambatan. Motor memberi kebebasan jalur, tetapi menuntut fisik lebih kuat. Tidak jarang, saya tiba di kantor dengan pikiran sudah penuh sesak, bahkan sebelum pekerjaan dimulai.
Lima Tahun yang Melelahkan
Pengalaman commuting ini bukan hanya soal fisik. Ia adalah soal mental, soal kestabilan emosi, dan soal kemampuan mengelola stres. Bayangkan, setiap malam saya harus memikirkan strategi perjalanan esok hari: apakah jalan tol akan padat, apakah hujan turun, atau apakah ada rekayasa lalu lintas baru dari pihak berwenang.
Ritme hidup pun seolah ditentukan oleh jalan raya. Saya harus bangun lebih pagi daripada orang kebanyakan hanya untuk mengamankan waktu perjalanan. Pulang ke rumah pun sering larut, karena macet sore hari tidak kalah parah dengan pagi. Waktu bersama keluarga berkurang, waktu untuk diri sendiri hampir tidak ada.
Pengalaman lima tahun commuting ini membuat saya semakin sadar bahwa perjalanan harian bukan sekadar aktivitas teknis, melainkan faktor penting yang membentuk kualitas hidup seseorang.
Perubahan yang Mengubah Segalanya
Situasi berubah drastis ketika awal 2023 saya dipindahtugaskan ke KPPN Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Jika dulu saya harus menempuh perjalanan panjang dengan mobil atau motor, kini saya tinggal di rumah dinas yang berdampingan langsung dengan kantor. Bahkan, cukup berjalan melewati pintu samping rumah, saya sudah sampai di area kantor.
Kontras ini sungguh luar biasa. Tidak ada lagi stres akibat macet, tidak ada lagi perhitungan ganjil-genap, dan tidak ada lagi ketegangan berangkat pagi. Waktu perjalanan nol menit itu benar-benar mengubah ritme hidup saya. Saya bisa bekerja dengan pikiran lebih tenang, menyelesaikan pekerjaan rutin lebih cepat, dan tetap punya energi untuk hal-hal produktif lain: menulis artikel, menyiapkan jurnal, atau sekadar bercengkerama lebih lama dengan keluarga.
Bekerja dekat rumah bukan hanya soal efisiensi waktu, tetapi juga soal kualitas hidup. Saya merasa lebih bersemangat, lebih segar, dan lebih fokus. Bahkan, produktivitas meningkat karena energi tidak lagi terkuras di jalan.
Refleksi tentang Commuting
Dari pengalaman pribadi ini, saya menyadari bahwa commuting adalah fenomena sosial yang nyata. Di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, jutaan pekerja setiap hari harus mengorbankan waktu produktif mereka hanya untuk berada di jalan. Jika dihitung secara kasar, dua jam perjalanan pulang-pergi berarti sepuluh jam dalam seminggu, atau sekitar empat puluh jam dalam sebulan—setara dengan satu minggu kerja penuh yang hilang di jalan.
Kondisi ini tidak bisa dianggap remeh. Commuting yang melelahkan bisa berdampak pada kesehatan fisik (kelelahan, penyakit pernapasan akibat polusi) maupun kesehatan mental (stres, kecemasan, hingga burnout). Tidak heran jika banyak penelitian menunjukkan bahwa kualitas hidup masyarakat perkotaan sering kali menurun karena waktu perjalanan yang panjang.
Namun demikian, ada beberapa strategi yang dapat membantu pekerja menghadapi realitas commuting ini seperti yang pernah saya lakukan:
- Manajemen Waktu yang Ketat: Tidur lebih awal, berangkat lebih pagi, dan mengatur jadwal kerja bisa membantu mengurangi tekanan.
- Fleksibilitas Transportasi: Menyiapkan opsi lebih dari satu moda transportasi akan mengurangi ketergantungan pada kondisi lalu lintas.
- Pemanfaatan Teknologi: Aplikasi peta digital dan informasi lalu lintas bisa menjadi alat bantu penting untuk memilih rute terbaik.
- Keseimbangan Aktivitas: Menebus energi yang terkuras dengan olahraga, berkomunikasi dengan keluarga, atau menekuni hobi agar mental tetap sehat.
- Advokasi dan Kebijakan Publik: Pemerintah perlu terus memperkuat transportasi publik, memperluas jaringan kereta, dan meningkatkan integrasi moda, agar commuting tidak lagi menjadi sumber stres massal.
Menutup Perjalanan, Membuka Kesadaran
Kini, ketika saya bisa berjalan kaki ke kantor dalam hitungan menit, saya merasakan betapa berharganya waktu yang dulu hilang di jalan. Pengalaman lima tahun commuting memberi pelajaran berharga bahwa perjalanan harian bukan sekadar soal jarak, tetapi juga soal cara kita mengelola hidup.
Bagi para pekerja perkotaan yang masih bergulat dengan macet setiap hari, mungkin sulit membayangkan bagaimana rasanya bekerja dekat rumah. Namun saya percaya, dengan strategi yang tepat—baik dari sisi individu maupun kebijakan publik—commuting tidak harus selalu identik dengan stres.
Hidup akan lebih seimbang ketika kita mampu menata ritme, menghargai waktu, dan menemukan makna di setiap perjalanan. Karena pada akhirnya, commuting hanyalah bagian dari hidup; kitalah yang menentukan apakah ia menjadi beban, atau justru ruang untuk bertumbuh.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!