
Peran Guru di Era Digital yang Semakin Berubah
Di tengah perkembangan teknologi yang pesat, peran guru dalam dunia pendidikan menghadapi tantangan baru. Banyak siswa kini lebih memilih belajar melalui platform digital seperti YouTube dan TikTok daripada mendengarkan penjelasan dari guru di kelas. Alasan utamanya adalah karena mereka merasa lebih cepat memahami materi dan tidak bosan. Fenomena ini bukanlah kasus tunggal, tetapi menunjukkan adanya pergeseran besar dalam cara belajar generasi muda.
Tidak hanya media sosial, banyak anak sekarang lebih percaya pada konten singkat atau bahkan aplikasi kecerdasan buatan (AI) dibanding bimbingan langsung dari guru. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah guru masih diperlukan di era digital ini? Atau justru generasi kita bisa belajar tanpa adanya guru?
Perubahan besar dalam dunia pendidikan memang tak terelakkan. Kehadiran teknologi digital, platform belajar daring, hingga AI telah membuka akses informasi yang sangat cepat. Namun, di balik kemudahan itu terselip tantangan besar. Ketika peran guru direduksi hanya sebagai pengawas ujian atau pengisi absen, sementara murid mengandalkan “guru virtual” yang selalu tersedia 24 jam, maka hal ini bisa berdampak negatif pada proses pembelajaran.
Data global terbaru menunjukkan bahwa pergeseran ini nyata. Survei PISA 2022 menempatkan Indonesia pada peringkat bawah dalam literasi membaca dan sains, meskipun akses gadget semakin luas. Bahkan, laporan UNICEF (2023) menyebutkan bahwa 6 dari 10 anak Indonesia lebih sering mencari jawaban tugas lewat internet dibanding berdiskusi dengan guru.
Di sisi lain, laporan UNESCO (2024) menekankan bahwa anak-anak yang belajar tanpa interaksi sosial dengan guru cenderung mengalami penurunan empati, rendahnya kemampuan berpikir kritis, serta kurangnya keterampilan kolaborasi. Ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak hanya tentang transfer pengetahuan, tetapi juga tentang pembentukan karakter dan nilai-nilai moral.
Guru hadir bukan hanya untuk mengajar rumus matematika, tetapi juga memberi teladan tentang kejujuran, kesabaran, disiplin, dan kepedulian. Sayangnya, sistem pendidikan kita masih terjebak pada angka dan ujian. Murid yang cerdas diukur dari nilai rapor, bukan dari daya juang atau kepeduliannya pada sesama. Akibatnya, ketika anak menemukan jalan pintas lewat teknologi, ia merasa cukup dengan hasil instan, tanpa melewati proses pembelajaran yang membentuk karakter. Inilah yang disebut para ahli sebagai “generasi serba cepat tapi rapuh.”
Meski demikian, guru tetaplah kunci dalam pendidikan. Namun, perannya memang harus berubah. Guru tidak lagi bisa hanya berdiri di depan kelas sebagai “sumber utama ilmu.” Mereka harus menjadi fasilitator, mentor, dan pendamping yang membimbing murid menyeleksi informasi di tengah banjir data. Guru harus bertransformasi menjadi inspirator yang menanamkan nilai, bukan sekadar pengajar materi.
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk menjaga peran guru di era digital ini. Pertama, pemerintah perlu memperkuat literasi digital di sekolah, bukan hanya untuk siswa tetapi juga guru. Guru harus dibekali kemampuan memanfaatkan teknologi, bukan digantikan olehnya. Kedua, kurikulum harus menekankan kolaborasi, empati, dan kreativitas—hal-hal yang tidak bisa diajarkan oleh mesin. Ketiga, orang tua perlu kembali menjadi mitra sejajar guru, membentuk lingkungan belajar yang sehat di rumah, agar anak tidak terjebak dalam layar tanpa bimbingan moral.
Sejarah mencatat bahwa bangsa yang besar bukan hanya karena teknologi, tetapi karena karakter manusianya. Negara-negara seperti Jepang pasca perang, Finlandia, hingga Korea Selatan membuktikan bahwa pendidikan yang menempatkan guru di posisi terhormat mampu melahirkan generasi tangguh. Indonesia pun tidak bisa berharap pada “guru virtual” semata.
Belajar tanpa guru mungkin membuat kita lebih cepat mendapat jawaban, tetapi tanpa guru, kita kehilangan arah. Pendidikan sejati adalah pertemuan jiwa dengan jiwa, bukan sekadar interaksi layar dengan jari. Maka, pertanyaan “Mungkinkah generasi kita bertahan tanpa guru?” seharusnya dijawab dengan tegas: tidak. Justru di era digital inilah, peran guru semakin vital, bukan untuk memberi semua jawaban, tetapi untuk mengajarkan cara bertanya dengan benar dan hidup dengan bermakna.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!