
Wayne Rooney, Dari Legenda Lapangan ke Pundit yang Jujur dan Blak-blakan
Wayne Rooney mungkin akan selamanya dikenang sebagai salah satu penyerang terbaik Inggris. Dengan 53 gol dari 120 penampilan untuk timnas, serta koleksi trofi bergengsi seperti Premier League, Liga Champions, hingga Piala FA, dia telah menciptakan sejarah dalam dunia sepak bola. Kini, ia memasuki babak baru dalam kariernya dengan menjadi pundit di program legendaris Match of the Day BBC.
Dalam wawancara eksklusif, Rooney mengungkapkan sisi lain dirinya. Tidak hanya sebagai legenda lapangan hijau, tetapi juga sebagai ayah, pengamat, dan sosok yang terus belajar untuk mengimbangi perjalanan hidupnya. Ia bercerita tentang masa kecilnya yang sederhana, di mana ia selalu bermain bola, entah di rumah, sekolah, atau jalanan Liverpool. Klub pertamanya adalah Copplehouse Colts di level U-9.
“Saya mencetak banyak gol, lalu menuliskan hasil pertandingan bersama ibu dan menempelkannya di kulkas,” ujarnya. Namun, perjalanan itu nyaris terhenti ketika ia berusia 14 tahun. Rooney mengaku pernah ditegur keras oleh Colin Harvey, pelatih Everton U-19 saat itu, karena kedapatan membawa minuman keras.
“Dia bilang kalau saya terus seperti itu, semua bakat akan terbuang sia-sia,” kenang Rooney. Sejak saat itu, ia berhenti bergaul bebas dan fokus sepenuhnya pada sepak bola.
Pengorbanan Orang Tua, Inspirasi untuk Keluarga
Rooney juga menyebut betapa besar peran kedua orang tuanya. Ibunya tidak bisa mengemudi, sementara ayahnya sibuk bekerja. “Saya sering harus naik tiga bus bersama ibu hanya untuk bisa latihan,” ucap dia. Kini, sebagai ayah dari empat anak, ia mulai merasakan sendiri betapa besar pengorbanan yang dilakukan orang tuanya dulu. Anak sulungnya, Kai, kini mengikuti jejak sang ayah dengan bergabung di akademi Manchester United.
Rooney bercerita bahwa ia bahkan sampai diam-diam menonton pertandingan Kai lewat ponsel ketika menghadiri pesta pernikahan keluarganya. “Dia mencetak gol menit terakhir, saya sempat melompat kegirangan, meski ternyata offside,” kata Rooney sambil tertawa. Kai disebut mirip dirinya—kuat, cerdas, namun tidak terlalu tinggi. Rooney menegaskan bahwa dia tidak ingin mendikte anaknya.
“Saya biarkan dia mendengar pelatihnya. Saya hanya bicara setelah pertandingan, tentang apa yang bisa diperbaiki,” jelas Rooney.
Penyesalan yang Membekas di Lapangan
Meskipun memiliki segudang prestasi, Rooney masih menyimpan penyesalan. Salah satunya adalah final Piala FA 2005 melawan Arsenal. “Kami main bagus, tapi kalah lewat adu penalti. Itu momen yang ingin saya ubah,” ujar Rooney. Selain itu, dia juga menyinggung laga kualifikasi Euro 2008 saat Inggris ditumbangkan Kroasia. Rooney hanya duduk di bangku cadangan kala hujan deras mengguyur Wembley.
“Itu momen di mana saya merasa malu sebagai pemain Inggris,” ungkap Rooney.
Dari Manajer ke Pundit: Jalan Terjal Pasca Gantung Sepatu
Usai gantung sepatu, Rooney mencoba peruntungan sebagai pelatih. Ia sempat membesut Derby County di tengah krisis finansial, lalu melanjutkan karier ke DC United dan Birmingham City. Namun, perjalanannya penuh lika-liku.
“Di Derby saya rasa kami melakukan pekerjaan bagus, di DC United kami hampir lolos play-off. Tapi di Birmingham, semuanya terasa salah sejak awal,” kata Rooney. Dia bahkan sempat mempertanyakan keputusannya terus melatih setelah pengalaman pahit di beberapa klub. Hingga akhirnya, pundit menjadi pilihan realistis.
“Saya menikmati ketika mencoba jadi komentator. Saya pikir waktunya tepat untuk fokus di sini,” kata Rooney. Ia menegaskan dirinya akan jadi pengamat yang jujur.
“Fans tidak bodoh. Kalau saya mencoba menutupi sesuatu yang mereka bisa lihat, itu tidak benar,” ungkap Rooney. Dia bahkan tak segan mengkritik sahabatnya sendiri. “Saya ingin Manchester United sukses, tapi musim lalu saya sempat mengkritik Jonny Evans. Kalau itu sesuai kenyataan, saya harus mengatakannya,” tandas Rooney.
Rooney juga menyadari bahwa dirinya sebagai pemain dulu mungkin tidak akan suka mendengar kritik dari Rooney sang pundit. “Saya dulu juga sering kesal pada pundit. Tapi sekarang saya mengerti kenapa mereka berkata begitu,” ujar Rooney.
Sisi Manusia yang Jarang Tersorot
Di luar sepak bola, Rooney punya sisi manusiawi yang jarang tersorot. Dia mengaku gemar menonton film sebelum pertandingan besar, termasuk Sister Act sebelum final Liga Champions. Film favoritnya kini adalah The Wolf of Wall Street. Tak hanya itu, Rooney juga mengungkapkan dirinya mudah menangis ketika menonton acara TV. “Saya bisa nangis lihat orang lolos audisi di X Factor. Di lapangan saya agresif, tapi sebenarnya saya lembut,” aku Rooney.
Rooney kerap dianggap tidak berpendidikan karena tidak sempat menuntaskan GCSE, ujian standar di Inggris. Namun, dia menegaskan sudah berusaha memperluas wawasan dengan belajar sejarah kulit hitam dan agama agar bisa memahami rekan setimnya. “Itu cara saya untuk bisa berbincang dengan semua orang, dari latar belakang apa pun,” tutur Rooney.
Rooney ingin membuktikan bahwa dirinya lebih dari sekadar pesepak bola. Ia adalah seorang ayah, suami, pembelajar, dan kini seorang pundit yang siap mengkritisi jalannya Premier League. Wayne Rooney bukan lagi sekadar legenda Manchester United dan Inggris. Ia kini tengah membangun identitas baru sebagai pundit yang jujur dan blak-blakan. Di balik wajah kerasnya, dia tetap seorang ayah yang bangga mendukung anak-anaknya.
Ketika ditanya tentang ambisinya ke depan, Rooney sempat bercanda, “Mungkin saya bisa jadi James Bond berikutnya.” Sebuah lelucon yang menutup wawancara panjang itu dengan senyum, namun juga menegaskan bahwa meski kariernya penuh tekanan, Rooney tetap punya sisi ringan yang membuatnya semakin dekat dengan publik.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!