
Pemangkasan dan Intimidasi di Pulau Rempang, Batam
Walhi Riau dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru mengungkapkan bahwa masih terjadi intimidasi terhadap warga Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau. Dua lembaga masyarakat sipil ini menolak klaim yang disampaikan oleh Kepala BP Batam Amsakar Achmad dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi VI DPR RI, Jakarta, pada 15 September lalu.
Menurut pernyataan Walhi dan LBH, relokasi warga tidak dilakukan secara damai. Mereka menyatakan bahwa fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Pada 2 Mei 2025, BP Batam bersama tim terpadu melakukan penggusuran paksa lahan seluas lebih dari 8.000 meter persegi milik Erlangga Sinaga, salah satu warga Kampung Tanjung Banun. Saat ini, Erlangga sedang menuntut keadilan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas pengusuran tersebut.
Selain itu, pada 7 Agustus 2025, rumah warga Rempang lain bernama Rusmawati juga digusur paksa. Proses penggusuran ini dinilai tidak manusiawi dan menyebabkan trauma bagi salah satu anggota keluarga Rusmawati, yaitu Nur. Nama Nur juga disebut oleh anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDIP, Mufti Anam, dalam RDP di Senayan.
Pelanggaran Undang-Undang dalam Proyek Rempang Eco-City
Manajer Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim Walhi Riau, Ahlul Fadli, mengatakan pendekatan BP Batam dalam pembangunan rumah relokasi proyek Rempang Eco-City di Tanjung Banun sejak awal bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Pasal 2 ayat 1 beleid ini menegaskan bahwa perencanaan pembangunan harus melibatkan partisipasi masyarakat secara aktif.
“Sejak awal proyek ini tidak memberikan ruang partisipasi masyarakat dalam mengambil keputusan pada proses perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi,” tutur Ahlul.
Direktur YLBHI-LBH Pekanbaru, Andri Alatas, menilai intimidasi dan penggusuran paksa melanggar hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Dia meminta Komisi VI DPR, yang mengurusi badan usaha pelat merah, untuk mengawasi kinerja BP Batam secara ketat.
“Setiap orang berhak mempertahankan kampung yang menjadi bagian dari ruang hidupnya, dan negara wajib menjamin hak tersebut. Jangan justru melanggengkan kekerasan,” katanya.
Penyangkalan BP Batam Mengenai Relokasi Warga
Walhi Riau dan LBH Pekanbaru juga membantah klaim BP Batam mengenai 400 kepala keluarga (KK) di Rempang telah menerima relokasi. Selama ini, BP Batam diketahui tidak pernah mempublikasi data konkret mengenai relokasi, termasuk soal identitas para penerima.
Dalam RDP pada 15 September 2025, anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDIP Mufti Anam mempertanyakan komitmen Kepala BP Batam untuk tetap humanis dalam menangani konflik akibat proyek strategis. Kepala BP Batam Amsakar Achmad saat itu langsung membantah tuduhan soal intimidasi tersebut.
Wakil Kepala BP Batam Li Claudia Chandra juga memastikan lembaganya tidak memaksa warga lokal pindah. Program relokasi sudah berjalan sejak lama. “Sebagian warga senang dengan rumah dan lahan baru yang diberikan,” begitu klaim Li.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!