
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Menghadapi Tantangan Finansial Berat
Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, yang dikenal dengan nama Whoosh, kini tengah menghadapi tantangan serius akibat beban utang yang semakin membesar. Awalnya diharapkan menjadi simbol kemajuan transportasi modern, proyek ini justru menimbulkan kekhawatiran terhadap stabilitas perekonomian nasional. Kewajiban pembayaran utang yang semakin sulit ditutupi membuat situasi ini semakin memprihatinkan.
Indonesia dalam Daftar Negara dengan Utang Besar ke Tiongkok
Laporan lembaga internasional pada tahun 2025 menyebutkan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki utang besar kepada Tiongkok. Skema Belt and Road Initiative (BRI) menjadi salah satu jalur utama bagi Tiongkok untuk memberikan pendanaan infrastruktur di berbagai negara, termasuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Meski awalnya disajikan sebagai kerja sama strategis, pinjaman ini ternyata membawa risiko besar bagi negara-negara berkembang.
Beberapa negara terjebak dalam "hidden debt" atau utang tersembunyi, di mana cicilan yang besar membuat mereka kesulitan melunasi utang. Dalam beberapa kasus, negara-negara tersebut bahkan harus menyerahkan aset strategis demi menyelesaikan kewajiban keuangan mereka.
Janji Awal yang Tak Terpenuhi
Saat proyek Whoosh diinisiasi pada tahun 2016, Presiden Joko Widodo pernah menyatakan bahwa pembangunan kereta cepat tidak akan memberatkan keuangan negara. Namun, kini realitasnya berbeda. Konsorsium BUMN yang dipimpin oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) kini harus menanggung kerugian besar.
Pemaparan KAI di DPR pada Agustus 2025 menunjukkan bahwa kerugian proyek ini mencapai Rp 2,239 triliun pada tahun 2024 dan sekitar Rp 1,246 triliun hanya dalam semester pertama 2025. Selain itu, KAI juga terpaksa menyiapkan dana cadangan (sinking fund) hingga Rp 1,455 triliun untuk menutupi kekurangan anggaran.
Biaya Membengkak dan Utang Menumpuk
Awalnya, proyek Whoosh diperkirakan membutuhkan biaya sebesar US$ 6,02 miliar. Namun, angka tersebut kini meningkat menjadi US$ 7,22 miliar. Sebanyak 75 persen dari total pembiayaan berasal dari pinjaman China Development Bank senilai US$ 5,415 miliar. Dengan bunga 2 persen per tahun untuk pinjaman awal dan 3,4 persen untuk pembengkakan biaya, PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) wajib membayar bunga sebesar US$ 120,9 juta per tahun.
Masalah semakin kompleks karena operasional Whoosh masih merugi akibat jumlah penumpang yang jauh dari target. Akibatnya, opsi pengalihan utang KCIC ke BUMN pemegang saham mulai muncul. Beberapa BUMN yang terlibat antara lain KAI, PT Wijaya Karya, PT Jasa Marga, dan PT Perkebunan Nusantara. Jika BUMN tidak sanggup menanggung beban ini, maka beban utang bisa berujung pada tanggungan negara.
Risiko Ekonomi Jangka Panjang
Situasi ini menjadi peringatan serius karena potensi krisis fiskal yang bisa terjadi. Dengan nilai utang yang besar dan bunga tinggi, risiko gagal bayar semakin nyata. Jika pembayaran tidak terkendali, proyek strategis nasional lainnya bisa terganggu karena dana pemerintah harus dialihkan untuk menutupi utang Whoosh.
Selain Indonesia, beberapa negara lain juga mengalami kesulitan serupa akibat utang luar negeri dengan skema BRI. Ada negara yang bahkan terpaksa menyerahkan pelabuhan maupun aset vital kepada Tiongkok karena tidak mampu melunasi kewajibannya.
Jalan Keluar Masih Samar
Pemerintah bersama BUMN masih berupaya mencari solusi, seperti restrukturisasi utang, renegosiasi bunga, hingga memperpanjang tenor pinjaman. Namun, langkah-langkah ini hanya akan memberikan jeda sementara tanpa mengurangi beban pokok utang yang sudah sangat besar.
Kondisi ini menegaskan bahwa proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, yang awalnya diharapkan menjadi simbol kemajuan transportasi, kini berubah menjadi beban keuangan yang berat. Jika tidak segera dicarikan solusi menyeluruh, Whoosh bisa menjadi contoh nyata bagaimana ambisi infrastruktur justru berujung pada krisis utang yang membelit bangsa.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!