
Sebuah Kritik terhadap Pemangkuan Jabatan dalam Konteks Dramaturgi Kekuasaan
Dalam dunia politik, setiap figur publik sering kali memainkan peran yang diharapkan oleh masyarakat. Namun, ada kalanya penampilan di panggung depan tidak mencerminkan kejujuran dan integritas yang sebenarnya. Hal ini menjadi fokus utama dari kritik terhadap pemangkuan jabatan yang dilakukan oleh Immanuel Ebenezer, yang menimbulkan pertanyaan besar tentang kompetensi dan etika seorang pejabat.
Seorang tokoh yang selama ini tampil sebagai sosok yang penuh semangat dan loyalitas, tiba-tiba tersingkir dari sorotan karena pengungkapan sandiwara di balik layar. Ini bukan sekadar kasus korupsi, melainkan sebuah pertunjukan dramaturgi kekuasaan yang telanjang. Dalam teori dramaturgi Erving Goffman, setiap individu adalah aktor yang memainkan perannya di panggung depan kehidupan sosial. Di sini, mereka menampilkan citra ideal yang ingin dilihat oleh publik.
Immanuel Ebenezer memainkan perannya dengan apik: ia adalah seorang "relawan" yang loyal, orator yang vokal, dan figur yang seolah-olah berani melawan arus. Ia begitu getol menyuarakan janji-janji politik, melakukan sidak mendadak yang direkam, dan sesekali membuat pernyataan kontroversial yang menarik perhatian media. Semua itu adalah bagian dari pertunjukan panggung depannya, yang bertujuan untuk membangun citra diri sebagai pribadi yang berintegritas dan patut diberi kepercayaan.
Namun, di balik panggung depan, ada panggung belakang yang menjadi ruang bagi para aktor untuk menjadi diri sendiri, tanpa pengawasan publik. Di sinilah realitas kerja yang mungkin tidak seindah yang terlihat ditampilkan. Jika ada kesenjangan antara kedua panggung tersebut, maka yang terjadi adalah pencitraan semu. Dalam konteks kabinet Prabowo, fenomena ini bisa dilihat dari berbagai aspek. Beberapa menteri mungkin sangat aktif di media sosial, sering muncul di berita, dan mengikuti berbagai acara seremonial (panggung depan), sementara capaian nyata atau kebijakan yang substansial tidak terlalu terlihat (panggung belakang).
Keputusan Presiden Prabowo untuk memecat Immanuel Ebenezer secara cepat dan tegas harus dilihat sebagai langkah yang tepat dan perlu. Ini adalah upaya untuk menambal kebocoran kredibilitas sebelum ia membesar. Tindakan ini mengirimkan pesan yang jelas kepada semua pihak, khususnya para pejabat, bahwa di kabinet ini, tidak ada toleransi untuk korupsi.
Kasus ini juga menjadi cerminan bagi publik untuk lebih jeli dalam menilai karakter seorang figur publik. Bahwa penampilan di panggung tidak selalu mencerminkan kejujuran di belakang layar. Karakter sejati seseorang diuji, bukan saat mereka diangkat, tetapi saat kekuasaan dan godaan datang. Dan dalam ujian itu, Immanuel Ebenezer, di mata publik, telah gagal.
Ini menjadi peringatan keras bagi seluruh anggota Kabinet Merah Putih. Integritas dan nama baik pemerintahan adalah harga mati. Jika ada pembantu presiden yang bertabiat seperti itu, mereka harus segera dibersihkan dari kabinet. Keberadaan individu-individu yang merusak seperti ini tidak hanya mencoreng nama baik Presiden Prabowo Subianto, tetapi juga mengkhianati kepercayaan rakyat yang telah diberikan.
Setiap pejabat yang dilantik telah mengucapkan sumpah jabatan yang sakral: "Demi Allah saya bersumpah...". Sumpah ini bukan sekadar formalitas, melainkan sebuah janji di hadapan Tuhan dan negara untuk memegang teguh amanah, menjunjung tinggi integritas, dan mengutamakan kepentingan rakyat di atas segalanya. Tindakan korupsi dan penyalahgunaan wewenang adalah pengkhianatan paling telanjang terhadap sumpah itu.
Jika ada menteri yang hanya berfokus pada pencitraan dan tidak menunjukkan prestasi yang konkret, maka evaluasi dan bahkan pergantian kabinet bisa menjadi langkah yang diperlukan. Dalam sistem presidensial, hak prerogatif presiden untuk mengganti menteri adalah hal yang wajar. Argumen di balik gagasan "bersih-bersih" kabinet adalah untuk memastikan bahwa setiap posisi diisi oleh orang yang tidak hanya kompeten, tetapi juga memiliki integritas dan komitmen untuk bekerja demi kepentingan rakyat.
Kinerja nyata harus menjadi prioritas utama. Capaian seperti pertumbuhan ekonomi, penurunan angka kemiskinan, perbaikan infrastruktur, atau peningkatan kualitas pendidikan, jauh lebih berharga daripada sekadar pencitraan di media. Pada akhirnya, keberhasilan sebuah pemerintahan tidak diukur dari seberapa baik ia "bermain di panggung depan," tetapi dari seberapa signifikan dampak positif yang diberikan kepada masyarakat melalui kerja keras dan prestasi nyata di "panggung belakang."
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!