Solidaritas Golkar untuk Novanto yang Bebas

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Solidaritas Golkar untuk Novanto yang Bebas

Perdebatan Terkait Pembebasan Bersyarat Setya Novanto

Keputusan pembebasan bersyarat terhadap Setya Novanto, mantan Ketua DPR RI yang terlibat dalam kasus korupsi e-KTP, kembali menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Keputusan ini memicu berbagai respons dari berbagai pihak, termasuk para aktivis antikorupsi, akademisi, dan partai politik.

Setya Novanto dikenal sebagai tokoh politik senior yang berasal dari Partai Golongan Karya (Golkar). Ia memiliki karier yang panjang dan sering kali menjadi sorotan publik. Sebelum terjun ke dunia politik, ia juga pernah menjalani bisnis di berbagai bidang seperti peternakan, logistik, kontraktor bangunan, hingga perhotelan. Pengalaman ini memberikan dasar yang kuat bagi kariernya di dunia politik.

Di satu sisi, banyak pegiat antikorupsi dan akademisi mengkritik keputusan ini karena dinilai merusak semangat pemberantasan korupsi. Di sisi lain, Partai Golkar justru membela mantan ketua umum mereka dengan tegas. Sikap yang kontras ini menunjukkan bahwa opini masyarakat masih terbelah, bahkan di internal partai tersebut.

Wakil Ketua Umum Golkar, Ahmad Doli Kurnia, menyatakan bahwa partainya tidak mengintervensi proses hukum. Menurutnya, Golkar hanya menghormati keputusan hukum yang berlaku. “Kami hanya menghormati keputusan hukum yang berlaku. Kalau sudah diputuskan oleh lembaga resmi, ya kami terima,” ujarnya.

Setya Novanto atau dikenal dengan panggilan Setnov adalah terpidana dalam kasus korupsi proyek e-KTP Kemendagri tahun anggaran 2011–2013. Proyek ini merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun dari total anggaran Rp5,9 triliun. Selain itu, ia juga menerima gratifikasi berupa 7,3 juta dolar AS dan jam tangan mewah Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS.

Ia ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Juli 2017. Setelah sempat menang praperadilan, ia kembali ditetapkan sebagai tersangka pada November 2017 dan ditahan setelah menghilang dan mengalami kecelakaan mobil. Pada April 2018, Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis 15 tahun penjara, denda Rp500 juta, dan uang pengganti. Hak politiknya dicabut selama lima tahun.

Tanpa mengajukan banding atau kasasi, Setnov kemudian mengajukan Peninjauan Kembali (PK) yang dikabulkan Mahkamah Agung pada Juni 2025. Hukuman dipotong menjadi 12 tahun 6 bulan. Ia juga menerima remisi total 28 bulan 15 hari, sehingga dinyatakan memenuhi syarat administratif dan substantif untuk bebas bersyarat.

Namun, pembebasan ini menuai kritik dari berbagai pihak. Lucius Karus, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), menyebutnya sebagai “kado buruk bagi pemberantasan korupsi.” Ia menilai keputusan ini bertolak belakang dengan pidato Presiden Prabowo yang menjanjikan komitmen besar melawan korupsi. “Janji Presiden terasa hambar ketika dunia penegakan hukum kita justru bermain dengan hukuman bagi pelaku yang sudah divonis,” ujarnya.

Zainal Arifin Mochtar, peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat UGM), menyebut pembebasan Setnov sebagai “tamparan bagi gerakan antikorupsi.” Ia menilai bahwa meskipun secara hukum sah, secara moral keputusan tersebut mencederai rasa keadilan masyarakat.

Mantan penyidik KPK, Praswad Nugraha, mengingatkan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. “Pesan yang tersampaikan justru berbahaya: bahwa korupsi bisa dinegosiasikan,” tegasnya. Yudi Purnomo Harahap menyoroti dampak pencabutan PP No. 99/2012 yang membuka celah bagi koruptor non-justice collaborator untuk tetap mendapat remisi. Ia menekankan pentingnya kesadaran moral hakim.

Meski sah secara hukum, publik bertanya: apakah keadilan cukup ditegakkan lewat prosedur semata? Korupsi tetap menjadi luka terbuka dalam demokrasi kita—dan setiap kompromi hanya memperdalamnya.