
Kursi di Senayan sebagai Simbol Kedudukan
Di sebuah kursi empuk di Senayan, seorang wakil rakyat duduk tenang. Dari sana ia menandatangani undang-undang, menyampaikan interupsi, atau sekadar hadir untuk absensi. Dari kursi itulah lahir keputusan-keputusan yang katanya atas nama rakyat. Tapi kini, kursi itu menjadi sorotan: kursi yang disebut bisa menghasilkan seratus juta rupiah sebulan. Kursi yang tak lagi sekadar simbol kehormatan, melainkan singgasana kenyamanan.
Rakyat menatap kursi itu dengan jarak yang kian lebar. Ada jurang antara kayu jati yang dilapisi kulit di ruang sidang dengan bangku plastik yang reyot di rumah seorang buruh. Ada perbedaan antara kursi kerja yang penuh fasilitas dengan bangku panjang di dapur petani yang menunggu panen. Kursi di Senayan menjadi metafora. Ia bukan hanya tempat duduk, tapi kedudukan. Dan kedudukan itu kini tampak hidup di atas rakyatnya.
Angka yang Menjelma Simbol Ketidakadilan
Seratus juta. Angka yang sederhana untuk ditulis, tetapi dahsyat untuk dibayangkan. Seorang anggota DPR disebut bisa membawa pulang penghasilan setara Rp3 juta per hari. Di negeri yang upah minimum provinsinya hanya Rp3,5 juta per bulan, angka itu seperti tamparan. Angka ini bukan sekadar kalkulasi gaji. Gaji pokok wakil rakyat sejatinya kecil: Rp4,2 juta. Tapi tunjangan datang bagai arus sungai: tunjangan jabatan, komunikasi intensif, kehormatan, listrik, telepon, hingga tunjangan perumahan. Setelah rumah dinas diganti, tambahan puluhan juta masuk tiap bulan. Jumlahnya bisa menyentuh seratus juta.
Angka itu lalu menjelma simbol ketidakadilan. Di satu sisi, rakyat antri beras subsidi. Di sisi lain, wakil rakyat tenang dengan penghasilan yang tak mungkin diimpikan oleh banyak pekerja seumur hidup. Rakyat mengukur kehidupan dengan sisa uang belanja di kantong. Wakil rakyat mengukur keseharian dengan slip gaji dan tunjangan yang terus bertambah.
Rakyat yang Hidup di Bawah Garis
Mari kita turun sebentar dari gedung parlemen. Menyusuri gang sempit di Jakarta Utara, kita bertemu buruh harian yang bergaji Rp120 ribu per hari, tanpa jaminan kesehatan. Menyebrang ke desa di Jawa Tengah, kita jumpai petani padi yang sebulan penuh hanya mendapat Rp2 juta, bila panen tak gagal. Di Nusa Tenggara Timur, seorang ibu menanak nasi jagung untuk lima anaknya, karena beras terlalu mahal. Di situlah rakyat hidup, di bawah garis yang bahkan sering kali tak tampak dalam grafik ekonomi. Sementara, wakil yang seharusnya hidup bersama mereka, justru hidup jauh di atas. Perbedaan itu bukan hanya soal angka, melainkan soal empati yang retak.
Legitimasi yang Terkikis
Kekuasaan tidak hanya ditopang oleh hukum, tapi juga oleh legitimasi moral. Rakyat memberi mandat bukan hanya agar wakilnya bicara di ruang sidang, tetapi agar wakilnya merasa bersama. Ketika wakil hidup jauh di atas rakyat, legitimasi itu mulai terkikis. Apa arti pemilu, jika wakil rakyat hanya menjauh setelah terpilih? Apa makna perwakilan, jika yang diwakili tak lagi menjadi cermin dalam keputusan dan gaya hidup wakilnya?
Demokrasi adalah jembatan. Tetapi jembatan itu retak bila satu sisi terlalu tinggi, sementara sisi lain tertinggal di bawah. Seratus juta bukan sekadar angka, ia adalah simbol sebuah legitimasi yang perlahan hilang.
Moral yang Terkikis
Filsafat politik sejak lama menegaskan: jabatan publik bukan soal kesejahteraan pribadi, melainkan soal pengabdian. Kekuasaan adalah beban, bukan hadiah. Tapi dalam praktik, kita melihat sebaliknya. Moralitas publik terkikis ketika gaji besar dianggap lumrah, sementara penderitaan rakyat dianggap biasa. Ironinya, alasan yang dipakai untuk membenarkan adalah “tanggung jawab besar”. Padahal sejarah membuktikan, gaji besar tak pernah menjadi pagar bagi korupsi. Integritas bukan soal angka, tetapi soal nurani.
Ketika wakil rakyat bicara tentang tanggung jawab, rakyat ingin melihat bukti, bukan slip gaji. Moral tak bisa diukur dari seratus juta, tetapi dari sejauh mana kursi kekuasaan dipakai untuk membela yang lemah.
Transparansi yang Hilang
Yang juga hilang dalam polemik ini adalah transparansi. Berapa sebenarnya yang diterima anggota DPR setiap bulan? Apa saja komponennya? Bagaimana mekanisme penentuan tunjangan? Publik berhak tahu, karena setiap rupiah yang masuk ke rekening wakil rakyat berasal dari pajak rakyat. Uang negara bukan milik negara, ia adalah uang rakyat yang dititipkan. Tanpa transparansi, angka seratus juta hanya akan menambah kecurigaan, memperdalam jarak, dan merusak kepercayaan.
Transparansi adalah obat pertama untuk mengembalikan legitimasi. Tetapi hingga hari ini, keterbukaan itu belum menjadi kebiasaan.
Ingatan yang Terlupakan
Kita pernah punya pemimpin yang menolak hak pensiun. Bung Hatta, dengan segala kesederhanaannya, meninggalkan teladan bahwa jabatan adalah tanggung jawab, bukan jalan memperkaya diri. Ingatan itu kini terasa asing. Kursi parlemen penuh kenyamanan, sementara teladan kesederhanaan ditinggalkan di halaman buku sejarah. Padahal, bangsa ini dibangun dari pengorbanan, bukan dari tunjangan. Sejarah mestinya menjadi cermin. Tanpa itu, para wakil akan terjebak pada amnesia moral, hidup di atas rakyat, lupa dari mana mereka berasal.
Jalan yang Harus Ditempuh
Apa yang bisa dilakukan? Pertama, DPR harus berani memangkas keistimewaan yang tak proporsional. Tunjangan perumahan puluhan juta sebulan adalah ironi di tengah kemiskinan rakyat. Kedua, perlu ada lembaga independen yang menilai kewajaran gaji pejabat publik. Jangan biarkan DPR menetapkan sendiri penghasilannya. Itu konflik kepentingan yang telanjang. Ketiga, masyarakat sipil harus terus bersuara. Demokrasi bukan hanya tentang memilih, tapi juga mengawasi. Polemik seratus juta ini harus menjadi momentum untuk mendesak perubahan sistem.
Jalan ke depan adalah membangun kembali keseimbangan: gaji cukup untuk hidup layak, tetapi tidak melampaui rasa keadilan publik. Ketika wakil hidup di atas rakyat, demokrasi kehilangan ruhnya. Kursi yang seharusnya menjadi tempat pengabdian berubah menjadi singgasana kemewahan. Seratus juta bukan sekadar angka, ia adalah tanda betapa jauhnya wakil dari rakyatnya.
Tapi sejarah mengajarkan: rakyat tak pernah diam. Dari suara kecil di desa, dari keluhan buruh di pabrik, dari doa ibu yang menanak nasi jagung, lahir kekuatan yang bisa mengguncang kursi paling empuk sekalipun. Akhirnya, yang membuat wakil rakyat dihormati bukanlah seratus juta di slip gaji, melainkan sejauh mana ia menempatkan dirinya bersama rakyat. Bukan di atas, tetapi di tengah.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!