Resep Menkeu Purbaya Atasi Krisis Ekonomi

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Pengalaman dan Refleksi Purbaya Yudhi Sadewa di Ruang Rapat DPR RI

Di ruang rapat Komisi XI DPR RI, suara Purbaya Yudhi Sadewa terdengar agak bergetar saat ia mulai menjawab pertanyaan. "Saya bukan Cowboy, tapi dipaksa jadi Cowboy lagi." Kalimat itu menjadi pembuka yang menunjukkan ketegasan dan kejujuran dari seorang ekonom yang tidak hanya memahami teori, tetapi juga pengalaman nyata.

Gayanya tidak seperti orator politik biasa. Lebih mirip dengan dosen ekonomi yang harus meyakinkan kelas besar yang penuh dengan politisi. Dari sana terlihat kejujuran: ia tidak sedang menjual mimpi, melainkan berbagi pengalaman pribadi tentang krisis dan kesalahan masa lalu.

Purbaya tidak datang dengan naskah penuh angka. Ia datang dengan memori panjang tentang krisis 1997-1998, catatan kesalahan masa lalu, dan secuil rasa percaya diri yang dipaksa keluar. "Jangan bilang saya sombong, tapi kan saya harus meyakinkan bapak-bapak," ujarnya. Kalimat itu canggung, tapi justru otentik.

Sejak awal 2000-an, ia sudah menjejak di dunia keuangan: pulang sekolah, masuk sektor finansial, kemudian bersama think tank SBY di Brighton Institute, staf khusus Hatta Rajasa, hingga menjadi bagian KSP era Jokowi. Meskipun nama Purbaya mungkin tidak populer di luar lingkaran ekonom, ia sudah lama berada di balik layar kebijakan.

Yang paling menarik dari paparannya bukan daftar jabatan itu, melainkan refleksi panjang soal krisis 1997-1998. Ia masih ingat bagaimana Thailand dan Korea jatuh, tapi Indonesia paling terpuruk. "Saya pelajari betul kenapa kita paling terpuruk," katanya. Dari sana ia menarik garis sederhana: jangan biarkan utang jangka pendek melebihi cadangan devisa.

Teori ini sejalan dengan analisis Paul Krugman tentang original sin: negara berkembang kerap terjebak utang jangka pendek dalam mata uang asing. Begitu serangan datang, cadangan devisa habis, kurs runtuh, bank ambruk. Indonesia pernah jatuh di lubang itu.

Lalu ia masuk ke wilayah moneter. Purbaya mengingatkan pelajaran dari krisis 1930-an di Amerika. Federal Reserve sudah menurunkan suku bunga ke nol, tapi krisis tetap berlanjut. Kenapa? Karena suplai base money, uang inti, atau M0 justru menyusut. Ekonomi dicekik karena uang primer yang menjadi "vitamin" hilang dari sistem.

Milton Friedman menegur keras kebijakan itu: masalahnya bukan sekadar bunga rendah, melainkan kurangnya injeksi M0. Dari sanalah lahir teori bahwa krisis perlu diatasi dengan menambah base money, bukan hanya mengutak-atik suku bunga. Itulah dasar dari quantitative easing modern.

Purbaya menunjukkan ia paham hal ini. Tapi ia juga sadar, di negara berkembang resep Friedman tidak bisa ditelan mentah-mentah. Menambah M0 berlebihan bisa bikin rupiah jeblok, inflasi melonjak, dan modal kabur. Jadi likuiditas harus dijaga secukupnya, jangan sampai kebablasan.

Data terbaru menunjukkan cadangan devisa Indonesia per Agustus 2025 sebesar USD 142 miliar (BI, 2025). Sementara uang primer (M0) tumbuh 9,8% secara tahunan. Angka ini sehat, karena masih sejalan dengan pertumbuhan ekonomi 5,1% di kuartal II 2025. Inflasi 3,2% masih terkendali, sementara defisit APBN Januari-Juli 2025 di kisaran 1,7% PDB. Dengan bahasa sederhana: darah ekonomi masih mengalir, tapi tidak berlebihan.

Di titik ini, Purbaya menyebut tiga agenda utama: menjaga APBN sehat, BUMN tidak jadi beban, dan sektor perbankan tetap kuat. Tiga hal ini kedengaran klise, tapi bagi Indonesia justru vital. APBN adalah jangkar. BUMN bisa jadi mesin, bisa juga jadi karang. Perbankan? Trauma 1998 masih jadi hantu.

Dalam teori Hyman Minsky tentang financial instability hypothesis, justru saat ekonomi terlihat stabil orang jadi sembrono. Bank longgar memberi kredit, perusahaan menumpuk utang, investor merasa aman. Begitu guncangan datang, semua ambruk bersamaan. Purbaya membawa trauma itu, sehingga ia menekankan disiplin.

Apakah gaya itu terlalu akademis? Mungkin. Tapi ia sadar dirinya teknokrat, bukan politisi. "Ekonomi tidak bisa dipisahkan dari politik," katanya. Ujian sebenarnya ada di sini. Banyak Menteri Keuangan jatuh bukan karena salah hitung angka, tapi karena gagal membaca politik. Sri Mulyani pun pernah memilih mundur karena politik lebih keras daripada defisit.

Pasar juga tidak peduli siapa menterinya. Pasar hanya peduli konsistensi. Rupiah tidak membaca pidato, ia membaca angka fiskal. Investor asing tidak hadir di rapat DPR, tapi mereka bisa lari begitu disiplin fiskal goyah.

Namun di sinilah kritiknya. Purbaya terlalu nyaman dengan peran "penjaga gawang". Ia lebih banyak bicara soal menjaga, mengendalikan, menahan, daripada mendorong, melepas, melompat. Tidak salah, tapi ada resiko: kita terjebak pada mental "status quo".

Ekonomi Indonesia tidak bisa hanya ditopang pada disiplin fiskal. Kita butuh transformasi struktural: produktivitas pertanian, daya saing manufaktur, investasi teknologi. Purbaya tampaknya belum menyinggung banyak soal itu. Ia lebih sibuk mengulang pesan lama: jangan ulangi krisis 1998.

Padahal risiko hari ini berbeda. Disrupsi digital, perubahan iklim, hingga ketergantungan impor energi jauh lebih relevan dibanding sekadar menjaga rasio utang. Di titik ini, pendekatannya terkesan terlalu hati-hati. Seperti sopir bus yang terlalu fokus pada rem, tapi lupa bahwa mesin juga harus diinjak gas.

Kritik berikutnya: kurangnya sentuhan sosial. Ekonomi bukan sekadar M0, APBN, atau neraca BUMN. Ekonomi adalah cerita petani yang gabahnya jatuh, buruh yang takut PHK, UMKM yang tercekik bunga bank. Dari paparannya, Purbaya masih lebih banyak bicara pondasi daripada manusia. Itu wajar, karena ia teknokrat. Tapi publik menunggu Menteri Keuangan yang mampu menjembatani teori dengan dapur rakyat.

Bagaimana membaca penampilannya di DPR? Ia tidak sedang menjual mimpi, tapi meyakinkan bahwa ia tahu lubang-lubang lama. Ia bukan salesman politik, tapi insinyur fiskal. Dengan gaya kikuk sekaligus jujur, seakan ia berkata: percayalah, saya pernah melihat kapal ini hampir tenggelam. Saya tahu retaknya di mana. Saya tidak janji kapal ini bisa melaju kencang, tapi saya janji tidak akan membiarkannya karam.

Itu baik, tapi belum cukup. Karena bangsa ini bukan hanya ingin selamat dari badai. Kita juga ingin sampai ke pelabuhan baru. Dan di situlah ujian Purbaya yang sebenarnya: berani keluar dari bayang-bayang masa lalu, tanpa kehilangan disiplin yang ia banggakan.