Remaja yang Bingung dan Jalan Menuju Identitas

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Perjalanan Remaja dan Kebutuhan untuk Memahami Rasa Minder

Anak muda bisa diibaratkan seperti biji benih yang dilempar ke tanah. Ada yang jatuh di tanah subur, tumbuh menjadi pohon rindang. Ada yang jatuh di tanah berbatu, tumbuh kerdil dan miring. Tapi ada juga biji yang jatuh di celah batu, yang justru tumbuh kuat dengan akar yang menembus kerasnya bebatuan. Itulah perjalanan remaja. Sebagian tumbuh dengan rasa percaya diri yang sehat, sebagian lainnya tumbuh dengan luka minder yang membelit.

Minder bukan sekadar teori psikologi. Ia hadir dalam wajah-wajah murung anak-anak kita di kelas. Ia adalah remaja yang duduk di pojok kantin, menunduk, pura-pura sibuk dengan ponselnya, padahal ia takut ditolak dalam percakapan. Ia adalah siswa yang enggan angkat tangan meskipun tahu jawabannya, karena khawatir ditertawakan teman-temannya. Minder itu nyata, dan ia hadir dalam detail kecil kehidupan sehari-hari.

Kebudayaan dan kebiasaan masyarakat kita sering menciptakan standar sukses yang sempit. Nilai ujian, universitas ternama, pekerjaan mapan, semuanya dijadikan tolok ukur harga diri. Remaja pun belajar hal-hal ini sejak dini, yaitu kalau tidak ranking, kalau tidak juara, kalau tidak masuk sekolah favorit, berarti hidupnya gagal. Dari sinilah inferioritas berakar.

Padahal, tidak semua bunga harus menjadi mawar. Ada yang menjadi bunga melati yang harum meski kecil. Ada bunga anggrek yang anggun meskipun tumbuh di batang pohon. Sayangnya, kita yang sudah dewasa sering lupa memberi ruang untuk keunikan itu. Akhirnya, anak-anak hidup dalam perlombaan tanpa garis finish, terus membandingkan dirinya dengan orang lain.

Sederhananya, orang yang sibuk membandingkan diri dengan orang lain, seringkali lupa membandingkan diri dengan dirinya sendiri.

Media sosial menambah bara pada api yang sudah membakar panasnya. Anak-anak lekas iri melihat teman sebayanya memamerkan kemana mereka liburan, barang mewah yang dimiliki, kulit putih glowing, atau prestasi akademik yang mentereng. Mereka tidak tahu bahwa di balik foto penuh senyum itu ada tangis yang tak terposting. Sebagian besar remaja lalu mengukur dirinya dengan standar semu.

Inilah yang disebut dengan imaginary audience, remaja merasa panggung hidupnya selalu disorot lampu orang lain. Padahal, sebagian besar orang sibuk menyorot dirinya sendiri. Mereka saling menatap, tapi tidak pernah benar-benar melihat. Media sosial mengajarkan kita membandingkan bab pertama hidup kita dengan bab dua puluh kehidupan orang lain. Jangan kira minder hanya soal pribadi. Ia bisa menjelma luka sosial. Remaja yang minder cenderung menarik diri, tidak percaya pada potensinya, dan akhirnya tidak memberi kontribusi pada lingkungannya. Lebih parah lagi, ada yang menutup rasa rendah diri dengan kesombongan palsu. Akhirnya, ia menjadi arogan, galak, suka merendahkan orang lain, padahal yang ia lawan sebenarnya adalah bayangan dirinya sendiri.

Di sekolah-sekolah saat ini, ada murid yang memilih diam seribu bahasa karena takut salah. Ada juga yang memilih berisik, mengganggu, bahkan membully, sebagai cara untuk menutupi rasa tidak aman dirinya. Dua-duanya lahir dari rahim yang sama, yaitu ketidakmampuan menerima kelemahan diri. Seperti kita pernah jumpai juga, terkadang orang yang paling keras tertawa adalah orang yang paling takut menangis.

Ada penelitian yang menunjukkan bahwa laki-laki justru lebih sering mengalami inferiority complex dibanding perempuan. Hasil ini mungkin mengejutkan, karena masyarakat kerap membayangkan laki-laki sebagai sosok yang kuat, gagah, dan berani. Namun dibalik citra itu, mereka sebenarnya memikul beban standar maskulinitas yang berat. Sejak kecil, laki-laki sering dijejali kalimat: “Jangan cengeng,” “Laki-laki harus bisa melindungi,” “Cowok itu harus jago hitung-hitungan,” atau “Jangan kalah sama perempuan.” Pesan-pesan ini seolah membentuk dinding tinggi yang harus mereka panjat. Sayangnya, ketika gagal melampaui dinding itu, banyak remaja laki-laki justru terjerembab dalam jurang rasa rendah diri. Mereka merasa hancur, gagal memenuhi ekspektasi yang dipasang oleh budaya, keluarga, bahkan dirinya sendiri.

Sedangkan perempuan menghadapi tekanan yang berbeda bentuk. Mereka dicekoki standar kecantikan yang dibuat industri dan diperkuat budaya populer. Kulit harus putih, tubuh harus langsing, wajah harus mulus, senyum harus menawan. Iklan, film, dan media sosial bekerja sama membentuk satu ilusi bahwa kecantikan bisa diukur dengan ukuran baju, harga skincare, atau jumlah “like” di Instagram. Akibatnya, banyak remaja perempuan merasa dirinya kurang cantik, kurang ideal, dan kurang pantas diperhitungkan hanya karena tidak sesuai dengan gambar yang ditayangkan layar kaca.

Padahal kecantikan tidak lahir dari cermin, melainkan dari cara kita memperlakukan diri sendiri. Cermin hanya bisa memantulkan wajah, tapi tidak mampu memantulkan hati. Hakikat kecantikan lahir dari sikap, cara kita menebar kebaikan, serta kemampuan untuk membuat orang lain merasa nyaman berada di sekitar kita. Kalau mau lebih bagus lagi, cantik itu bukan sekadar kilau di kulit, melainkan cahaya yang terpancar dari dalam jiwa.

Namun, jangan juga terburu-buru mengutuk minder, karena sebenarnya Ia bisa menjadi pintu masuk menuju kedewasaan seorang remaja. Orang yang pernah merasa rendah diri tahu rasanya menjadi kecil, sehingga ia bisa tumbuh menjadi pribadi yang peka terhadap orang lain. Minder bisa mengajarkan kerendahan hati, asal tidak dibiarkan membusuk. Alfred Adler, seorang psikolog menyebut rasa kurang percaya diri sebenarnya bisa menjadi bahan bakar. Anak yang minder bisa menemukan panggung baru untuk dirinya. Dari kegagalan akademik, ia bisa menemukan seni. Dari kelemahan fisik, ia bisa melahirkan empati. Dari rasa tidak berharga, ia bisa menumbuhkan solidaritas.

“Yang menumbuhkan kita bukanlah keadaan tanpa cela, tapi dari luka yang kita sembuhkan dengan kasih sayang.”

Berdasarkan fenomena ini semua, apa yang bisa kita lakukan? Sebagai orang tua: hentikan kalimat “lihat tuh anak tetangga.” Bandingkan anak dengan dirinya kemarin. Apresiasi usahanya, bukan hanya hasilnya. Lalu bagaimana dengan Guru? Berhentilah menjadikan nilai akademik sebagai satu-satunya alat ukur. Berikan panggung bagi anak yang unggul di musik, olahraga, menulis, atau kepemimpinan. Apa yang bisa dilakukan sekolah? Bangun budaya suportif. Hal lain yang bisa dilaksanakan seperti konseling kelompok berbasis kekuatan karakter. Jadikan ruang bimbingan konseling (BK) bukan tempat hukuman, melainkan ruang pemulihan, bimbingan dan pendampingan. Nah, bagaimana dengan remaja itu sendiri? Sadari bahwa semua orang punya celah dan retak. Keunikanmu adalah kekuatanmu. Jangan cari validasi di cermin retak bernama social media.

“Anak bukanlah kanvas kosong yang bisa kita lukis sesuai keinginan, mereka adalah teks kehidupan yang perlu kita renungi dan pahami setahap demi setahap.”

Inferiority complex pada remaja memang nyata. Ada penelitian yang mengukurnya, ada cerita yang mewujudkannya, ada wajah-wajah yang menanggungnya. Akan tetapi, jangan juga kita jadikan minder sebagai kutukan. Ia adalah ujian yang bisa menjadi berkah, jika kita tahu cara menanggapinya, menanganinya dan terus berusaha mengendalikannya.

Remaja yang pernah merasa tidak cukup, bisa tumbuh menjadi pemimpin yang rendah hati. Remaja yang pernah merasa ditolak bisa menjadi orang dewasa yang merangkul. Remaja yang pernah minder bisa menjadi manusia yang lebih mengerti arti syukur. Boleh jadi Tuhan membiarkan kita merasa kecil, agar kelak kita bisa menjadi besar tanpa melupakan cara merunduk. Maka, tugas kita sebagai orang tua, guru, dan keluarga, bukanlah menghilangkan minder sama sekali, melainkan mendampingi remaja agar bisa mengubahnya. Dari inferior menjadi sosok menginspirasi. Dari perasaan kurang menjadi semangat untuk melengkapi. Dari luka menjadi pelajaran. Dan pada akhirnya, ketika mereka dewasa nanti, mereka bisa berkata: “Aku pernah minder, tapi dari situlah aku belajar menjadi manusia.”