
Kondisi Mesin Ekonomi Indonesia yang Tidak Seimbang
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan bahwa mesin ekonomi Indonesia dalam 20 tahun terakhir mengalami ketidakseimbangan. Ia membandingkan situasi ekonomi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) dengan era Presiden Joko Widodo (2014-2024). Dalam acara Great Lecture Transformasi Ekonomi Nasional: Pertumbuhan yang Inklusif Menuju 8% di Jakarta, ia menyampaikan bahwa sebagian besar pertumbuhan ekonomi berasal dari satu sisi saja.
Era SBY: Domasi Sektor Swasta
Purbaya menjelaskan bahwa selama masa pemerintahan SBY, pertumbuhan ekonomi mampu mencapai rata-rata di atas 5 persen atau mendekati 6 persen. Hal ini didorong oleh sektor swasta yang aktif dan berperan signifikan. Ia menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit mencapai 21 persen, sedangkan laju uang beredar (M0) sebesar 17 persen. Pada masa itu, pembangunan infrastruktur tidak terlalu intensif, namun pertumbuhan ekonomi tetap stabil.
Era Jokowi: Dominasi Sektor Pemerintah
Kondisi berbeda terjadi saat Joko Widodo memimpin. Pertumbuhan ekonomi cenderung rendah, hanya mendekati 5 persen. Meskipun pemerintah fokus pada pembangunan infrastruktur, sektor swasta justru melambat. Laju M0 rata-rata tumbuh 7 persen, bahkan pernah turun hingga mendekati 0 persen. Pertumbuhan kredit perbankan juga berada di bawah 10 persen.
Menurut Purbaya, meskipun infrastruktur dibangun secara masif, hal ini hanya menggerakkan sektor pemerintah. Sementara sektor swasta stagnan atau bahkan berhenti, sehingga pertumbuhan ekonomi tetap rendah.
Rasio Utang Pemerintah yang Meningkat
Selama era Jokowi, rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) meningkat menjadi rata-rata 34,31 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan masa SBY yang sebesar 31,65 persen dari PDB. Purbaya menilai hal ini menunjukkan tekanan keuangan yang semakin besar.
Dana Mengendap di Bank Indonesia
Purbaya juga menyebut adanya dana pemerintah yang mengendap di Bank Indonesia (BI), dengan nilai mencapai Rp 800 triliun. Dana tersebut berasal dari utang dengan bunga sekitar 7 persen. Menurutnya, pengelolaan dana ini tidak efisien dan menimbulkan pemborosan. Selain itu, BI juga ikut mengeringkan likuiditas melalui penerbitan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi menjadi lambat. Purbaya menyatakan bahwa langkah-langkah yang dilakukan oleh otoritas keuangan dan BI telah mengurangi aliran dana dalam sistem, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Ancaman Jebakan Ekonomi
Menurut Purbaya, jika kondisi tidak segera diperbaiki, ekonomi akan semakin memburuk. Ia khawatir hal ini akan menyebabkan pemecatan pegawai, kesulitan hidup masyarakat, dan potensi kerusuhan sosial. Ia menyebut situasi ini sebagai "jebakan ekonomi" yang bisa berujung pada penurunan ekonomi jika tidak segera diatasi.
Solusi yang Ditawarkan
Untuk mengatasi masalah, Purbaya mengusulkan memindahkan dana pemerintah di BI ke perbankan sebesar Rp 200 triliun. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan uang beredar sebesar 15-20 persen dalam waktu dekat. Dampaknya terhadap perekonomian diperkirakan akan terlihat dalam 1-2 bulan mendatang.
Ia optimistis bahwa dengan perbaikan ini, pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 6-6,5 persen. Lebih lanjut, perbaikan mesin ekonomi akan dilakukan pada sektor-sektor lain untuk menciptakan pertumbuhan yang lebih berkelanjutan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!