
KPK Tetapkan 11 Orang sebagai Tersangka dalam Kasus Pemerasan Sertifikasi K3
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan sejumlah pihak sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan terkait sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan. Salah satu yang menjadi perhatian adalah Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, yang juga dikenal dengan nama panggilan Noel.
Kasus ini terjadi selama periode 2019 hingga 2025. Selain Noel, KPK juga menetapkan 10 orang lainnya sebagai tersangka. Informasi ini disampaikan oleh Ketua KPK, Setyo Budianto, dalam konferensi pers yang digelar di Gedung Merah Putih pada Jumat, 22 Agustus 2025.
Setyo menjelaskan bahwa uang yang terkumpul dari praktik tersebut dialirkan kepada pihak Penyelenggara Negara (PN). Salah satunya adalah IEG, yang menerima sebesar Rp3 miliar pada Desember 2024. Namun, salah satu dari 11 tersangka yang paling mencuri perhatian adalah Irvian Bobby Mahendro.
Irvian Bobby Mahendro merupakan sosok yang menerima bagian terbesar dari hasil pemerasan, yaitu sebesar Rp69 miliar. Dari total uang yang terkumpul sebesar Rp81 miliar, ia menjadi pihak yang paling besar mendapat keuntungan.
Profil Irvian Bobby Mahendro
Irvian Bobby Mahendro adalah seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Saat ini, ia menjabat sebagai Koordinator Bidang Kelembagaan dan Personel K3 untuk periode 2022–2025.
Lulusan S1 Teknik Mesin dari Universitas Trisakti (2002–2008) dan S2 Manajemen dari Universitas Satyagama (2008–2010), Irvian memiliki latar belakang pendidikan yang cukup kuat. Namun, kini dia menjadi sorotan karena keterlibatannya dalam kasus pemerasan sertifikasi K3.
Harta Kekayaan Irvian Bobby Mahendro
Salah satu hal yang menarik dari kasus ini adalah ketidaksesuaian antara laporan resmi Irvian dengan temuan KPK. Dalam Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) yang disampaikan ke KPK pada 2 Maret 2022, Irvian melaporkan total kekayaan sekitar Rp3,9 miliar.
Rincian kekayaannya meliputi satu bidang tanah dan bangunan di Jakarta Selatan senilai Rp1,27 miliar, satu unit mobil Mitsubishi Pajero tahun 2016 senilai Rp335 juta, harta bergerak lainnya senilai Rp75 juta, serta kas dan setara kas senilai Rp2,2 miliar.
Namun, dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK pada Agustus 2025, ditemukan adanya ketidaksesuaian yang mencolok. Irvian diduga menerima aliran dana sebesar Rp69 miliar dari praktik pemerasan. Dana tersebut digunakan untuk membeli 18 mobil mewah, 6 motor, membayar uang muka rumah, berinvestasi di tiga perusahaan jasa K3, serta untuk keperluan pribadi dan hiburan.
Perbedaan antara laporan resmi dan temuan KPK ini menimbulkan dugaan kuat bahwa sebagian besar kekayaan Irvian tidak dilaporkan secara jujur dalam LHKPN. Hal ini menjadi sorotan karena menunjukkan celah dalam sistem pelaporan kekayaan pejabat negara dan potensi penyalahgunaan jabatan di lingkungan kementerian.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!