
Babak Baru: Dari Penjaga Gerbang ke Arsitek Mandiri
Ketika Sri Mulyani pamit dari kursi Menteri Keuangan, suasana yang tercipta adalah keheningan. Tidak ada air mata, tidak ada emosi berlebihan. Ia pergi dengan tenang, seperti seorang yang memahami bahwa setiap langkah memiliki maknanya sendiri. Di tengah senyap itu, publik mulai bertanya-tanya apa yang sedang berubah. Ini bukan sekadar pergantian teknokrat biasa, melainkan sebuah pergeseran arah.
Bu Ani tidak pergi karena gagal, tetapi karena ia terlalu teguh menjaga prinsip fiskal yang ketat. Kebijakan yang ia terapkan selama ini dianggap sebagai bagian dari paradigma IMF dan World Bank. Namun, kini, dengan kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto yang kembali dari Beijing dan Moskow, tampaknya Indonesia mulai menata jalannya sendiri.
Purbaya Yudhi Sadewa kini duduk di kursi Menteri Keuangan. Ia bukan hanya pengganti, tapi juga sinyal perubahan besar. Dalam pidato pertamanya, ia menyatakan bahwa pemerintah akan fokus pada permintaan domestik, belanja strategis, serta kedaulatan fiskal. Purbaya bahkan mengacu pada "jurus kearifan lokal" ala Soemitro Djojohadikusumo sebagai inspirasi utama, yang kemudian dikenal sebagai Soemitronomics.
Soemitronomics: Ketika Indonesia Tak Lagi Menjaga Gerbang IMF, Tapi Menata Pintu Sendiri
Soemitronomics bukanlah istilah baru, tetapi lebih merupakan warisan pemikiran ekonomi dari Prof. Soemitro Djojohadikusumo. Tokoh ekonomi nasional ini adalah ayah dari Prabowo Subianto dan salah satu arsitek awal pembangunan Indonesia pasca kemerdekaan. Dalam pandangan Soemitro, ekonomi bukan hanya tentang angka, tetapi tentang kedaulatan. Ia percaya bahwa negara harus berani membelanjakan uang untuk rakyat, membangun industri strategis, dan tidak tunduk pada tekanan lembaga asing.
Prinsip-prinsip utama Soemitronomics meliputi:
- Pertumbuhan ekonomi tinggi yang berpihak pada rakyat kecil
- Pemerataan hasil pembangunan, bukan hanya akumulasi modal
- Stabilitas nasional yang dijaga melalui kemandirian ekonomi
Dalam konteks saat ini, Soemitronomics berarti keberanian fiskal:
- Menggeser fokus dari defisit ketat ke belanja strategis
- Mengganti jargon “confidence investor” dengan “kepercayaan rakyat”
- Membangun ekonomi bukan untuk rating lembaga asing, tapi untuk ketahanan pangan, energi, dan industri nasional
Purbaya Yudhi Sadewa, sebagai Menteri Keuangan baru, menyebut Soemitronomics sebagai inspirasi arah fiskal ke depan. Ia ingin menjadikan RAPBN sebagai alat pembangunan, bukan sekadar penjaga neraca. Dan, dalam narasi ini, Indonesia tak lagi sekadar menjaga gerbang IMF, tetapi sedang menata pintu sendiri.
IHSG Turun, Tapi Narasi Naik
Pasca reshuffle, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat turun 1,77%. Pasar bereaksi, tetapi bukan karena ketakutan, melainkan karena ketidaktahuan. Investor global terbiasa membaca Indonesia lewat lensa IMF. Kini mereka harus belajar membaca Indonesia lewat lensa Vladivostok dan Medan.
Purbaya menyebut bahwa dalam 10 bulan pemerintahan Prabowo, kesejahteraan rakyat meningkat, inflasi terkendali, dan stok beras mencapai 4 juta ton. Ia juga menegaskan bahwa RAPBN 2026 akan diarahkan untuk mendukung kedaulatan pangan, energi, dan ekonomi. Ini bukan sekadar janji. Ini adalah reset fiskal.
Yang Pergi Bukan Musuh, Yang Datang Bukan Malaikat
Sri Mulyani adalah figur reformis. Ia membawa Indonesia ke panggung global. Tapi dalam politik, arah kadang lebih penting dari reputasi. Dan, Prabowo tampaknya ingin menuntaskan warisan ayahnya, Soemitro, dengan keberanian fiskal yang tak lagi tunduk pada batas defisit 3%.
Purbaya, dengan latar belakang teknik dan ekonomi, bukan sekadar teknokrat. Ia adalah juru bicara dari babak baru:
- Kredit murah dari China
- Investasi strategis di sektor pangan dan energi
- Belanja sosial yang masif, bukan sekadar subsidi
Penutupan: Di Tengah Meja, Bukan Lagi di Pinggir
Kita sedang menyaksikan Indonesia bergeser dari “tamu VIP IMF” menjadi tuan rumah dari narasi fiskal sendiri. Soemitronomics bukan sekadar teori lama yang dihidupkan, tapi arah baru yang sedang diuji. Dan publik, seperti yang Anda tulis, harus tetap kritis karena harapan adalah bahan bakar, tapi pengawasan adalah rem yang menjaga arah.
Mungkin kita belum tahu apakah arah ini akan membawa kemakmuran atau jebakan baru. Tapi satu hal pasti: Indonesia tak lagi duduk di pinggir meja. Ia sedang belajar berdiri di tengah. Dan dari tengah itu, kita semua diminta untuk melihat, bertanya, dan menjaga.
Selamat datang di Indonesia versi 2025. Tempat di mana geopolitik menentukan fiskal, dan keberanian moral diuji bukan di seminar, tetapi di meja makan rakyat.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!