Penyesalan Djuyamto di Sidang, Harap Jadi Hakim Terakhir yang Menerima Suap

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Hakim Nonaktif Djuyamto Akui Bersalah dalam Kasus Suap

Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hakim nonaktif Djuyamto mengakui bersalah terkait dugaan suap yang diterima dari majelis hakim. Kasus ini menyangkut vonis lepas atau onslag untuk tiga perusahaan crude palm oil (CPO). Sidang yang berlangsung pada Rabu (10/9/2025) masih dalam tahap pembuktian, dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan para saksi sedang memberikan keterangannya.

“Kami sudah mengakui sejak penyidikan bahwa kami menerima uang,” kata Djuyamto saat menjawab pertanyaan Rudi Suparmono, yang hadir sebagai saksi dalam persidangan. Rudi, yang memiliki latar belakang sebagai hakim selama 33 tahun, pernah menjadi atasan bagi Djuyamto dan rekan-rekannya.

Dalam kasus ini, Rudi diperiksa dalam kapasitasnya sebagai mantan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, nama baiknya tercoreng karena dugaan menerima suap. Ia diduga menerima uang dari pengacara bernama Lisa Rachmat agar dapat membebaskan Gregorius Ronald Tannur dalam kasus pembunuhan yang sempat ramai dibicarakan publik.

Upaya Suap yang Terungkap

Selama sidang, terungkap bahwa Rudi pernah ditawari uang oleh Agusrin Maryono senilai 1 juta Dolar Amerika Serikat. Tujuannya adalah agar Rudi membantu perkara CPO korporasi. Kasus ini kemudian menjerat Djuyamto dan rekan-rekannya, yang telah mengaku bersalah dan menerima suap.

Djuyamto bertanya kepada Rudi apakah setelah bertemu Agusrin, ia memanggil majelis hakim. Rudi menjawab bahwa majelis memang datang. Djuyamto menegaskan bahwa pertanyaannya bukan untuk mencari siapa penerima uang, tetapi ingin masyarakat memahami proses yang terjadi sebelum seseorang menerima suap.

“Sidang ini jangan hanya sekadar untuk mencari siapa yang bersalah, tapi juga prosesnya,” ujarnya. Djuyamto berharap kasus ini menjadi pelajaran agar ke depan hal yang sama tidak terulang lagi.

Besaran Uang Suap yang Diterima

Dalam perkara ini, Djuyamto dan empat terdakwa lainnya diduga menerima suap dari pihak korporasi. Uang ini diterima dari pengacara yang mewakili perusahaan, yaitu Ariyanto dan Marcella Santoso. Jaksa mendakwa lima orang hakim dan pegawai pengadilan ini menerima suap dengan total nilai mencapai Rp 40 miliar.

Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta didakwa menerima Rp 15,7 miliar; panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar. Sedangkan Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.

Atas suap yang diterima, Djuyamto, Ali, dan Agam memutuskan vonis lepas untuk tiga korporasi, yaitu Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group. Sementara itu, Arif Nuryanta dan Wahyu Gunawan terlibat dalam proses negosiasi dengan pengacara dan proses untuk mempengaruhi majelis hakim agar putusan sesuai permintaan.