Pemicu Amuk di Nepal: Anak Pejabat Pamer Kekayaan, Rakyat Kesulitan Hidup

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Demonstrasi Besar di Nepal yang Berujung pada Pengunduran Diri Perdana Menteri

Pada Senin (8/9/2025) dan Selasa (9/9/2025), Nepal diguncang oleh demonstrasi besar yang menewaskan sedikitnya 19 orang. Aksi protes ini akhirnya memaksa Perdana Menteri Nepal, KP Sharma Oli, untuk mengundurkan diri. Demonstrasi ini berlangsung dengan intensitas tinggi, di mana rumah pejabat diserbu dan beberapa gedung dibakar, termasuk gedung parlemen.

Aksi protes ini muncul sebagai respons terhadap masalah korupsi yang merajalela dan ketimpangan ekonomi yang sangat dalam antara para pejabat dan rakyat biasa. Banyak warga merasa marah melihat perilaku anak-anak pejabat yang sering memamerkan gaya hidup mewah di media sosial, sementara kehidupan rakyat kesulitan secara ekonomi.

Fenomena "Nepo Kids" yang Menggemparkan Media Sosial

Dalam beberapa pekan terakhir sebelum aksi demonstrasi pecah, istilah "nepo kids" menjadi viral di media sosial Nepal. Istilah ini digunakan untuk menyebut anak-anak dari pejabat tinggi dan menteri yang kerap memperlihatkan gaya hidup mewah. Di platform seperti TikTok dan Instagram, banyak video atau foto yang menampilkan keluarga dan anak pejabat berpose dengan mobil mewah serta pakaian bermerek.

Salah satu video viral menunjukkan Sayuj Parajuli, putra mantan Ketua Mahkamah Agung Gopal Parajuli, yang berfoto di samping mobil mewah dan makan di restoran mahal. Video lain menampilkan Saugat Thapa, putra Menteri Hukum dan Urusan Parlemen Bindu Kumar Thapa, dengan gaya hidup serupa. Fenomena ini memperkuat persepsi publik bahwa keluarga elite politik hidup dalam kemewahan, kontras dengan kehidupan rakyat biasa yang masih bergulat dengan kemiskinan.

Penjelasan Ahli tentang Frustrasi Publik

Yog Raj Lamichhane, asisten profesor di School of Business, Pokhara University, menyatakan bahwa amarah terhadap "nepo kids" mencerminkan frustrasi publik yang mendalam. Menurutnya, masyarakat merasa terpukul melihat perubahan gaya hidup para pejabat. Mereka dulu hidup sederhana sebagai aktivis partai, tetapi kini justru hidup mewah setelah berkuasa.

Lamichhane menjelaskan, para pengunjuk rasa menuntut pembentukan komisi khusus untuk menyelidiki sumber kekayaan para politisi. Hal ini menunjukkan adanya kekhawatiran lebih luas tentang korupsi dan ketimpangan ekonomi di negara ini.

Sejarah Ketimpangan di Nepal

Nepal memiliki sejarah panjang ketidaksetaraan. Dua dekade lalu, negara ini masih menganut sistem monarki yang bercorak feodal. Dipesh Karki, asisten profesor di School of Management, Universitas Kathmandu, menjelaskan bahwa selama sejarah Nepal, mereka yang berkuasa bisa memegang kendali atas sumber daya dan kekayaan negara. Hal ini menghasilkan apa yang disebut sebagai "elite capture".

Karki menambahkan, kekayaan, bisnis, hingga kesempatan pendidikan di Nepal sebagian besar terkonsentrasi pada keluarga elite, terutama yang memiliki koneksi politik. Anak-anak politisi hidup dari dividen politik, sehingga memperparah ketimpangan.

Data Ekonomi yang Menggambarkan Ketimpangan

Menurut Bank Dunia, pendapatan per kapita tahunan Nepal sekitar 1.400 dollar AS (Rp 23 juta), yang merupakan terendah di Asia Selatan. Rata-rata pendapatan warga Nepal dalam sebulan adalah Rp 1,9 juta. Tingkat kemiskinan dalam beberapa tahun terakhir tetap berada di atas 20 persen.

Tantangan besar lain adalah pengangguran, khususnya di kalangan anak muda. Pada 2024, 32,6 persen pemuda Nepal tidak bekerja dan tidak bersekolah, jauh lebih tinggi dibandingkan India yang sebesar 23,5 persen. Akibat keterbatasan lapangan kerja, sekitar 7,5 persen penduduk Nepal tinggal di luar negeri pada 2021.

Ketergantungan Ekonomi pada Devisa Migran

Ekonomi Nepal sangat bergantung pada devisa pekerja migran. Data 2024 mencatat bahwa kiriman uang dari luar negeri menyumbang 33,1 persen produk domestik bruto (PDB) Nepal. Angka ini termasuk yang tertinggi di dunia, hanya kalah dari Tonga (50 persen), Tajikistan (47,9 persen), dan Lebanon (33,3 persen).

Ketimpangan dalam kepemilikan tanah juga masih terjadi, meski upaya reformasi agraria telah dilakukan. Menurut Karki, 10 persen rumah tangga teratas memiliki lebih dari 40 persen lahan, sementara sebagian besar rakyat miskin di pedesaan tidak punya tanah atau hampir tidak punya lahan. Ia menegaskan bahwa apa yang terjadi di Nepal saat ini bisa dianggap sebagai akumulasi dari ketidaksetaraan yang telah membelenggu bangsa ini sejak dulu.