
Demonstrasi Besar di Jakarta dan Dampaknya terhadap Kebijakan Fiskal
Demonstrasi besar yang berlangsung di Jakarta pada akhir Agustus 2025, kemudian merebak ke berbagai kota lainnya, tidak bisa dianggap remeh. Gelombang protes ini mencerminkan akumulasi kekecewaan dan frustrasi masyarakat akibat ketidakadilan yang dirasakan sehari-hari. Fenomena ini juga menunjukkan semakin lebarnya jurang ketimpangan antara rakyat biasa sebagai pembayar pajak dengan para pejabat publik serta anggota DPR yang mendapatkan fasilitas dan tunjangan dari negara.
Respons dari masyarakat sipil terhadap situasi ini adalah mengajukan tuntutan kepada pemerintah untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat. Salah satu tuntutan utama adalah "17+8 tuntutan", yang menekankan pengusutan korban demonstrasi oleh aparat, perbaikan tata kelola politik khususnya di DPR, penegakan supremasi sipil, serta penerapan kebijakan ekonomi yang lebih adil.
Meskipun demikian, isu ekonomi masih jarang dibahas dalam diskusi tersebut. Padahal, masalah ketimpangan dan kesulitan ekonomi merupakan salah satu sumber utama kegundahan masyarakat. Respons pemerintah pun cenderung lebih fokus pada pendekatan keamanan dan pertahanan, bukan pada akar masalah ekonomi seperti melemahnya daya beli masyarakat, terutama bagi kelompok miskin dan menengah bawah.
Presiden Prabowo Subianto bersama Menteri Keuangan memiliki ruang untuk mengubah arah kebijakan fiskal agar lebih berpihak pada peningkatan daya beli masyarakat, pemberdayaan pemerintah daerah, dan penciptaan lapangan kerja baru. Pada 15 Agustus 2025, Presiden telah memaparkan RAPBN 2026 dengan delapan agenda prioritas belanja pemerintah, termasuk ketahanan pangan dan energi, program makan bergizi gratis (MBG), pendidikan dan kesehatan, koperasi merah putih, pertahanan nasional, serta penguatan investasi, terutama untuk penghiliran dan program 3 juta rumah. Angka-angka agregat ini sangat impresif.
Misalnya, dukungan fiskal untuk ketahanan pangan mencapai Rp164,4 triliun, pendidikan Rp757,8 triliun (20% dari APBN), kesehatan Rp244 triliun, dan alokasi MBG Rp335 triliun untuk hampir 83 juta penerima. Namun, ada beberapa alokasi anggaran yang memunculkan pertanyaan. Misalnya, belanja untuk fungsi pertahanan meningkat 36,7% dari Rp245 triliun menjadi Rp335,3 triliun, sementara alokasi untuk perlindungan sosial hanya naik 2,4% dari Rp272,9 triliun menjadi Rp279,5 triliun. Selain itu, pendanaan untuk program prioritas nasional seperti MBG dan Koperasi Merah Putih memaksa penerapan efisiensi anggaran, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kecuali untuk Kementerian Pertahanan dan Polri yang justru mengalami kenaikan anggaran.
Untuk Transfer ke Daerah (TKD), RAPBN 2026 memproyeksikan penurunan tajam sebesar 24%, dari Rp864,1 triliun menjadi Rp650 triliun. Sebagian besar TKD ini sudah dialokasikan untuk belanja pegawai, sehingga kepala daerah nyaris tidak memiliki ruang fiskal untuk kegiatan produktif dan pelayanan publik. Penurunan TKD sebesar 9% dari 2024 ke 2025 saja telah mendorong banyak daerah mencari tambahan pendapatan melalui pajak lokal seperti PBB dan retribusi. Dampaknya bisa sangat signifikan jika alokasi TKD berkurang hingga 24% pada 2026.
Langkah Strategis untuk Reformasi Fiskal
Tanpa reformasi fiskal, APBN 2025 maupun RAPBN 2026 hanya akan membiarkan persoalan ekonomi yang ada. Reformasi ini perlu difokuskan pada penguatan daya beli masyarakat, penciptaan lapangan kerja berkualitas melalui investasi produktif, serta perlindungan bagi kelompok miskin dan rentan. Di saat yang sama, kebijakan fiskal harus memperkuat kelas menengah sebagai penopang utama daya tahan ekonomi. Ada beberapa langkah strategis yang dapat segera diambil pemerintah dalam jangka pendek dan menengah.
Pertama, efisiensi anggaran perlu dilonggarkan bersamaan dengan realokasi belanja negara. Dana pertahanan, belanja militer, serta kenaikan anggaran institusi polri harus dialihkan ke sektor yang langsung menyentuh kesejahteraan rakyat seperti pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, penciptaan lapangan kerja formal, dan pembangunan infrastruktur publik. Pelonggaran kebijakan efisiensi anggaran di kementerian dan lembaga penting untuk memberikan sinyal bahwa pemerintah dapat menjadi pendorong kegiatan ekonomi, baik di tingkat pusat maupun daerah. Dengan bertambahnya alokasi TKD, kepala daerah tidak akan terdorong untuk memberlakukan pajak baru yang memberatkan masyarakat.
Kedua, evaluasi program pemerintah yang menyedot anggaran besar tetapi minim efek pengganda bagi masyarakat. Program prioritas nasional seperti Koperasi Merah Putih sebaiknya dijalankan secara terbatas sebagai proyek percontohan di beberapa daerah terlebih dahulu, sebelum diperluas ke tingkat yang lebih tinggi. Dengan begitu, akan lahir model koperasi yang efektif, berbasis kebutuhan lokal, dan tidak semata-mata sentralistik dari pemerintah pusat. Demikian pula dengan program MBG, di mana Badan Gizi Nasional menjadi kementerian/lembaga dengan alokasi anggaran terbesar, yakni Rp268 triliun. Angka ini bahkan lebih tinggi dibandingkan total anggaran untuk Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, serta Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi yang hanya mencapai Rp259,4 triliun.
Ketiga, lakukan transfer of wealth dari kelompok kaya melalui sistem perpajakan yang adil. Direktorat Jenderal Pajak harus lebih kreatif dalam menggali potensi pajak dari individu berpenghasilan tinggi maupun perusahaan besar. Instrumen seperti tax amnesty (sunset policy) bisa dimanfaatkan untuk memperluas basis pajak, tetapi harus diikuti dengan kebijakan progresif yang menjamin kontribusi berkelanjutan dari kelompok kaya terhadap pembiayaan publik. Dengan demikian, sistem perpajakan dapat menjadi instrumen pemerataan, bukan sekadar alat penghimpun pendapatan.
Terakhir, dalam jangka panjang, reformasi fiskal harus diarahkan pada sektor-sektor yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Prioritas utamanya mencakup peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan, penguatan infrastruktur untuk memperluas konektivitas bisnis, pengembangan industri nasional, percepatan transisi energi yang adil melalui proyek energi terbarukan, serta penggalian sumber-sumber ekonomi baru lewat digitalisasi dan ekonomi kreatif.
Sebagai penutup, demonstrasi yang berakar dari ketimpangan dan permasalahan ekonomi menjadi momentum bagi pemerintah untuk mendengar kebutuhan masyarakat. Reformasi fiskal dengan mengevaluasi RAPBN 2026, perlu melibatkan partisipasi masyarakat luas, sehingga penyusunan anggaran benar-benar didasarkan pada kajian yang objektif dan sesuai kebutuhan rakyat, bukan sekadar keinginan elite politik atau kepentingan jangka pendek.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!