
Dipublikasikan pada, 25 Agustus -- 25 Agustus 2025 1:22 AM
Pemerintah di dunia saat ini tidak hanya dinilai berdasarkan kebijakan atau kinerjanya selama menjabat, tetapi juga seberapa efektif mereka berkomunikasi dengan rakyatnya. Masa digital telah mengubah politik menjadi sebuah percakapan 24/7 di mana narasi dibentuk secara real time. Para pemimpin di seluruh dunia memahami realitas ini: mereka menginvestasikan dana besar dalam komunikasi digital, memastikan kabinet mereka aktif secara online, dan memperlakukan domain digital sebagai garis depan pemerintahan. Sayangnya, dimensi ini dari seni pemerintahan masih diabaikan di Pakistan.
Saat ini, pemerintah tidak memiliki pusat narasi terpusat dari mana informasi dapat disederhanakan, dipantau, dan didistribusikan secara strategis. Sebaliknya, pesan-pesan tersebar, reaktif, dan sering bertentangan. Tanpa pusat digital yang terkoordinasi, pemerintah terlihat terpecah belah dan tidak mampu berbicara dengan satu suara yang jelas. Kelemahan ini menciptakan kekosongan di mana informasi palsu berkembang dan kepercayaan publik menurun.
Ketidakhadiran yang kuat dalam kehadiran digital di kalangan sebagian besar anggota kabinet hanya memperparah masalah tersebut. Di negara di mana setengah populasi berusia di bawah 35 tahun dan mengonsumsi berita terutama melalui platform digital, ketidakterdengan para menteri senior di platform ini menjadi sangat mencolok. Banyak anggota kabinet sama sekali tidak hadir secara online, atau jika mereka ada, mereka tidak memiliki pengetahuan tentang tren apa yang harus diikuti, bagaimana berinteraksi dengan warga, dan isu-isu apa yang perlu dipromosikan. Hasilnya adalah pemerintahan yang terasa jauh dari irama rakyatnya.
Namun, terdapat satu pengecualian yang menonjol. Menteri Pertahanan Khawaja Asif telah menunjukkan bagaimana kehadiran digital dapat digunakan secara efektif. Baik selama konflik Iran-Israel, ketegangan yang meningkat dengan India, atau isu nasional sehari-hari, komunikasinya yang tepat waktu dan langsung telah menunjukkan bagaimana seorang pemimpin dapat membentuk narasi dan berkomunikasi langsung dengan warga negara. Namun, upaya satu orang, sekalipun layak diapresiasi, tidak dapat memikul beban seluruh pemerintah.
Perbedaan tersebut menjadi semakin jelas ketika kita melihat bagaimana satu partai politik di Pakistan memanfaatkan ruang digital sebagai senjata. Keberhasilan mereka tidak hanya terletak pada pemostingan konten atau pembuatan video yang menarik, tetapi juga pada penerapan alat perang psikologis yang secara langsung menyentuh emosi warga negara. Di balik kampanye mereka bukan hanya manajer media sosial, tetapi juga tim strategis dan ahli psikologi yang memberikan instruksi harian tentang cara menyerang perasaan, rasa takut, dan frustrasi publik. Bahkan hingga saat ini, meskipun pemimpin mereka telah dipenjara selama lebih dari dua tahun, mereka masih terus memanipulasi opini publik dengan menggunakan alat kecerdasan buatan untuk merekam pidato pemimpin mereka dalam suaranya sendiri, lalu menyebarkannya secara online seolah-olah dia sedang berbicara kepada bangsa secara langsung. Eksploitasi yang terencana ini menunjukkan bagaimana media digital dapat digunakan bukan untuk pemerintahan yang konstruktif, tetapi sebagai senjata untuk menyesatkan, mengganggu stabilitas, dan mempertahankan pengaruh. Pemerintah, di sisi lain, sebagian besar tetap menjadi pengamat pasif, gagal membangun kesadaran digital yang diperlukan untuk menghadapi taktik-taktik seperti ini.
Bandingkan dengan cara pemerintah lain beroperasi. Di Amerika Serikat, setiap anggota kabinet Presiden mempertahankan kehadiran digital yang terlihat, sementara Gedung Putih menjalankan struktur komunikasi yang sangat terkoordinasi yang menentukan narasi setiap hari. Di Inggris Raya, perdana menteri berturut-turut telah menganggap komunikasi digital sebagai inti dari pemerintahan, memastikan menteri-menteri berinteraksi langsung dengan warga dan mempertahankan kredibilitas secara online. Di Teluk, Arab Saudi dan Emirat Arab Bersatu telah membangun pusat komando digital mutakhir yang memantau narasi secara real time, menggunakan teknologi dan alat AI untuk memastikan pemerintah mereka tetap terlihat, responsif, dan dipercaya.
Pakistan tidak dapat lagi mengabaikan realitas ini. Pemerintah harus mendirikan Pusat Narasi Digital yang khusus di bawah Kantor Perdana Menteri untuk memantau diskusi online, mengidentifikasi tren yang muncul, dan membentuk respons yang koheren. Anggota Kabinet harus didorong, bahkan dilatih, untuk menjaga kehadiran online yang aktif dan tujuan yang mencerminkan portofolio mereka. Seperti briefing keamanan atau ekonomi harian yang dianggap penting, juga harus ada briefing digital harian untuk menyelaraskan pesan dan merespons secara cepat terhadap informasi palsu atau krisis.
Di era perang informasi, persepsi sering kali melebihi kebijakan. Negara-negara yang gagal menguasai ruang digital berisiko menjadi tidak relevan di mata warga negaranya sendiri. Pemimpin Pakistan harus menyadari bahwa kredibilitas dan koneksi dengan rakyat akan semakin diperoleh atau hilang di timeline media sosial dan alur digital. Untuk sebuah negara muda dengan potensi besar, saatnya untuk bangkit secara digital sekarang.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!