
Kathmandu, 6 September -- Tidak lama yang lalu, saya mendengarkan seorang teman menceritakan bagaimana kehidupannya berjalan. Setelah menghadapi kegagalan besar dalam bisnis dan kehidupan profesionalnya, dia sedang mencari arah baru. Dalam percakapan kita, saya menyebutkan buku Anthony de Mello yang berjudul 'Awareness'. Beberapa hari kemudian, setelah membaca beberapa halaman, dia mengirimkan pesan kepada saya, "Buku ini sedang melakukan terapi buku untuk saya."
Sebelumnya, saya belum pernah memikirkan sebuah buku dengan cara seperti itu. Apakah sebuah buku benar-benar bisa bersifat terapeutik?
Ternyata iya. Terapi bacaan adalah gagasan bahwa sebuah buku dapat bertindak seperti penyembuh, hampir seperti seorang terapis. Kata-kata di halaman itu dapat mencapai sudut-sudut tersembunyi hati dan mengungkapkan pikiran atau emosi yang tidak kita ketahui bagaimana menyampaikannya. Penulis mungkin tidak pernah mengenal kita, namun buku itu bisa terasa ditulis khusus untuk kita. Sebuah buku dapat memberi ketenangan, menguji, dan bahkan membangunkan sesuatu di dalam diri kita.
Buku menanam benih
Ketika kita menyelesaikan sebuah buku, sebagian besar isinya meluntur. Kita tidak mengingat setiap bab atau setiap detail. Tapi biasanya, satu kalimat, satu metafora, atau satu wawasan kecil yang tersisa. Dan bagian kecil ini dapat bekerja seperti biji. Tanpa kita sadari, ia berakar dan mengubah cara kita berpikir atau bertindak.
Ambil novel "The Alchemist" karya Paulo Coelho. Banyak pembaca tidak mengingat seluruh alur ceritanya, tetapi hampir semua orang masih ingat kalimat, "Ketika kamu menginginkan sesuatu, seluruh alam semesta akan bekerja sama untuk membantumu mencapainya." Pikiran tunggal ini telah menginspirasi banyak orang untuk mengejar mimpi yang dahulu mereka sembunyikan. Satu kalimat saja cukup untuk memicu keberanian.
Ada sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh memegang buku cetak. Ya, e-book memang praktis, tetapi banyak orang masih lebih suka buku asli. Membaca bukan hanya tentang mata, tetapi juga tentang sentuhan dan kehadiran. Membalik halaman, menyorot kalimat, atau kembali ke sudut yang terlipat di mana sesuatu menggerakkan kita membuat prosesnya menjadi sangat pribadi. Meminjam buku dari teman dan melihat garis-garis yang mereka soroti bahkan dapat mengungkap dunia dalam mereka dan perjalanan pribadi mereka.
Menggenggam sebuah buku terasa seperti menggenggam tangan. Ini memberi kita kehadiran dan teman sejati dengan cara yang tidak pernah bisa dilakukan layar.
Ketika buku memicu kesadaran
Saya masih ingat membaca buku 'A New Earth' karya Eckhart Tolle. Buku ini menjelaskan bagaimana ego bekerja secara mendalam sehingga saya mulai menyadari keberadaannya dalam kehidupan sehari-hari saya. Setiap kali saya merasa defensif, membandingkan diri dengan orang lain, atau merasa harus benar, saya mendengar bel kecil berdentang di dalam diri saya. Kesadaran telah dipicu, dan dengan kesadaran itu datanglah kesempatan untuk berhenti sejenak dan memilih respons saya.
Ini bukan tentang menghafal teori. Buku ini telah menanamkan benih yang hidup. Perlahan, saya mulai merespons dengan cara yang berbeda. Alih-alih rasa tidak sabar, terkadang ada jeda, bahkan senyuman terhadap trik-trik ego. Buku itu tidak lagi "di luar" diriku. Ia telah menjadi teman, suara yang bisikan pengingat pada saat yang tepat.
Itu keindahan dari "pemicu buku." Kata-kata melompat melewati halaman dan menyatu ke dalam sistem saraf kita. Berbeda dengan pemicu sementara yang kita dapatkan dari menggulir di ponsel, di mana gambar atau notifikasi memicu kita untuk bereaksi secara impulsif, pemicu buku mengajak kita masuk ke ketenangan dan refleksi. Mereka tidak meminta perhatian. Mereka membangunkannya.
Jendela dan cermin
Buku juga bisa menjadi teman dalam masa kesepian. Dalam novel-novel Haruki Murakami, seperti 'Norwegian Wood', pembaca sering menemukan ketenangan di antara karakter-karakter yang berjuang melawan kesepian, duka, dan kerinduan. Ceritanya tidak "memperbaiki" kesepian, tetapi memberi kata-kata untuk apa yang sering terasa tidak dapat diungkapkan. Buku bisa duduk bersamamu dalam diam ketika tidak ada orang yang bisa.
Beberapa buku memberi kita keberanian untuk menghadapi kebenaran terdalam dalam hidup. Misalnya, karya Mitch Albom berjudul "Tuesdays with Morrie" membawa pembacanya untuk merenungkan kematian dan makna hidup. "The Diary of a Young Girl" karya Anne Frank membuat kita menghadapi ketidakadilan dan ketangguhan melalui mata seorang anak. Buku-buku menciptakan ruang yang aman untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan terberat dalam hidup tanpa rasa malu atau takut.
Selain menyentuh perasaan, buku juga memperluas pikiran. Karya Yuval Noah Harari berjudul 'Sapiens' memberi kita perspektif yang lebih luas tentang cara kita memikirkan sejarah, evolusi, dan masa depan kemanusiaan. Buku 'Think Again' karya Adam Grant memicu dalam diri kita kekuatan untuk melepaskan keyakinan lama dan membuka kemungkinan baru untuk pertumbuhan serta pengambilan keputusan. Novel seperti 'Half of a Yellow Sun' karya Chimamanda Ngozi Adichie atau 'The Kite Runner' karya Khaled Hosseini membawa kita ke budaya, perang, dan tantangan yang mungkin tidak pernah kita alami secara langsung.
Buku adalah jendela yang menunjukkan kepada kita kehidupan lain. Namun mereka juga cermin yang mencerminkan bagian diri kita yang mungkin belum pernah kita sadari.
Latihan mental
Membaca bukan hanya makanan bagi hati; itu adalah olahraga bagi otak. Penelitian menunjukkan bahwa membaca memperkuat fokus, membangun kosakata, dan menjaga pikiran tetap aktif bahkan di usia tua. Jika Sudoku seperti lari pagi ringan bagi otak, maka 'The Brothers Karamazov' karya Dostoevsky adalah latihan berat. Kalimat-kalimat yang rumit memaksa otak untuk meregang dan menjadi lebih kuat.
Banyak pemimpin hebat mengatakan bahwa buku adalah guru mereka. Nelson Mandela menemukan petunjuk dalam karya-karya Gandhi dan Tolstoy. Steve Jobs sering kembali ke 'Autobiografi Seorang Yogi' untuk mendapatkan inspirasi.
Buku, maka, bukanlah benda tak berjiwa. Mereka adalah keberadaan yang hidup. Buku yang tepat pada waktu yang tepat dapat mengubah arah kehidupan seseorang.
Jahat: dopamin murahan
Tentu saja, di sini ada seorang penjahat, dan bentuknya adalah hiburan digital. Kita hidup di masa di mana setiap notifikasi berusaha mencuri perhatian kita. Perjuangan dimulai dengan pertanyaan sederhana: Apa yang akan saya ambil terlebih dahulu, ponsel atau buku? Jika saya mengambil ponsel, banjir hiburan instan biasanya menang. Tapi jika saya mengambil buku, itu akan memegang saya, dan menarik saya lebih dalam ke halaman demi halaman. Misalnya, membaca "The Power of Now" karya Eckhart Tolle tidak menggugah otak dalam burst singkat, tetapi secara perlahan mengajarkan kita tentang kehadiran.
Ilmu pengetahuan mengatakan bahwa membaca tidak hanya menghabiskan waktu. Membaca mengubah struktur otak. Terlibat dengan buku sejak usia dini memperkuat jalur yang mendukung kreativitas dan pemahaman. Bahkan bagi mereka yang mengalami kesulitan membaca seperti disleksia, membaca yang terarah dapat mengubah koneksi otak.
Pilihan sebenarnya adalah antara dopamin murah dan dopamin kaya. Dopamin murah berasal dari menggulung layar tanpa henti dan tawa cepat. Terasa baik untuk seketika, tetapi membuat pikiran menjadi kacau. Dopamin kaya, jenis yang berasal dari membaca dan merenung, membutuhkan lebih banyak usaha tetapi bertahan lebih lama. Ia membentuk koneksi baru di otak dan membuat kita segar daripada kelelahan.
Membaca bahkan bisa menjadi sebuah ritual. Bayangkan memasak secangkir kopi, duduk dekat jendela, dan membalik halaman perlahan. Ritme itu sendiri terasa terapeutik. Ini adalah salah satu dari sedikit tindakan dalam kehidupan modern kita di mana kita secara sengaja melambatkan diri. Buku adalah sebuah atmosfer, jeda, dan sebuah pulau kecil ketenangan di tengah kekacauan.
Kebiasaan yang bertahan seumur hidup
Saat di sekolah, kami memiliki aturan: setiap siswa harus membawa novel dalam tas setiap saat. Melihat kembali, bukan hanya sebuah aturan. Itu adalah awal dari kebiasaan.
Banyak dari kita masih menyimpan sebuah buku di samping tempat tidur atau di meja kerja—bukan karena kita diminta, tetapi karena kita ingin melakukannya. Yang dimulai sebagai aturan di sekolah telah berkembang menjadi kebiasaan yang sehat—atau mungkin bisa dikatakan, sebuah cinta terhadap membaca. Kehadiran buku sebagai teman telah berkembang bersama kita, dan bagi banyak orang, telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kita.
Buku bukan hanya objek hiburan. Mereka adalah teman, guru, terapis, dan terkadang bahkan penyelamat. Mungkin pertanyaan sebenarnya bukanlah apa yang dilakukan buku kepada Anda, tetapi apa yang Anda izinkan buku itu bangunkan dalam diri Anda. Setiap buku yang Anda buka pada akhirnya juga membuka bagian-bagian dari diri Anda sendiri.
_____
Thomas adalah kepala sekolah di St Xavier's College, Maitighar.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!