
Kampung Areng: Dari Kotoran Sapi Jadi Rezeki yang Menggeliat
Di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, tempat orang-orang biasanya mencari udara sejuk atau segelas susu segar, ada kisah lain yang jarang masuk brosur wisata. Bukan soal bunga warna-warni atau kebun stroberi manis, melainkan tentang sesuatu yang baunya tak enak disebut: kotoran sapi.
Dari gundukan limbah yang dulu diperlakukan bak anak tiri, kini lahir ladang rezeki yang lentur, licin, dan menggeliat. Ari (36) warga Kampung Areng, Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, berani menyalin naskah muram limbah menjadi kisah optimistis tentang cacing. Ya, cacing. Makhluk merah bergeliat yang sering dianggap menjijikkan itu menjadi pemeran utama dalam perubahan wajah kampung.
“Alhamdulillah, sekarang tidak ada lagi kotoran yang terbuang sia-sia. Semuanya dimanfaatkan, bahkan jadi sumber penghasilan utama saya,” kata Ari saat berbincang dengan media lokal.
Ekonomi Hijau dari Limbah Sapi
Di kampung yang memiliki 400 ekor sapi ini, setiap hari muncul 10 ton lebih kotoran. Sebuah gunung kotoran yang menyengat hidung dan meracuni sungai. Dulu, tumpukan itu menjadi momok. Bau amis bercampur asam menyergap hingga ke dapur warga. Sungai berubah seperti kuah kotor, lebih mirip selokan daripada sumber kehidupan.
Tetapi sejak 2016, Ari menghadirkan ide “gila” yang bahkan tetangganya sempat nyinyir. Ari berencana mengubah kotoran sapi menjadi media ternak cacing. Di lahan sempit 2x14 meter persegi, ia menyiapkan rak-rak kayu bertingkat. Bukannya menyimpan hasil panen sayur atau buah, Ari justru merawat makhluk bergeliat itu dengan sabar.
Dalam dua hingga tiga bulan, cacing siap panen. Dan dari lahan sekecil itu, ia bisa mengantongi Rp 4 juta bersih tiap bulan. Nominal yang mungkin terdengar biasa saja bagi pengusaha kota, tapi di kampung, itu adalah bukti nyata bagaimana limbah bisa menjelma jadi harapan.
Cacing sebagai Solusi Lingkungan
Ironisnya, di saat pemerintah sering gagap mengatasi soal sampah dan limbah peternakan, justru cacing-cacing inilah yang bekerja paling rajin. Mereka melahap kotoran, mengolahnya menjadi kascing, pupuk organik yang subur dan bernilai jual tinggi.
Para pejabat mungkin sibuk berwacana tentang “ekonomi hijau”, tapi Ari dan ribuan cacingnya sudah lebih dulu praktik nyata tanpa pidato panjang. Kini, Kampung Areng tak lagi sesak dengan bau tak sedap. Limbah yang dulunya jadi masalah kini berubah jadi aset. Bahkan, beberapa tetangga Ari mulai meniru langkahnya. Kotoran sapi bukan lagi kutukan, melainkan berkah yang menyuburkan kantong.
Kampung ini pun pelan-pelan menjelma laboratorium alam tentang bagaimana manusia bisa berdamai dengan lingkungannya.
Permintaan Tinggi untuk Cacing
Permintaan cacing ternyata tak pernah kenyang. Industri pakan ikan dan unggas membutuhkannya. Begitu juga produsen kosmetik dan farmasi. Cacing jadi bahan baku untuk kapsul herbal, krim perawatan kulit, bahkan racikan obat-obatan tertentu.
Jenis cacing yang dipelihara ada dua: Lumbricus rubellus, yang populer untuk kebutuhan herbal dan kosmetik, serta African Night Crawler (ANC), primadona pakan ternak ikan dan unggas. "Kedua jenis ini mudah dipelihara, cepat berkembang biak, dan yang terpenting laku keras di pasar," paparnya.
Baik permintaan untuk pakan unggas maupun permintaan cacing untuk obat-obatan ia dapat dari platform jual beli daring atau media sosial. Melalui pemasaran digital ini, cacing-cacing itu merayap menjadi rupiah ke kantong-kantongnya saban hari. Sebuah rezeki yang lahir dari pantat sapi.
Ari kini bukan sekadar peternak, tapi juga pemasok. Tangannya yang dulu akrab dengan cangkul, kini juga menari di layar ponsel untuk melayani pesanan dari berbagai daerah. “Alhamdulillah, sekarang saya tidak perlu keluar kampung untuk menjual produk. Semua dikerjakan dari rumah, lewat online,” kata Ari.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!