
Pelajaran dari Era Sri Mulyani: Stabilitas sebagai Fondasi Ekonomi Indonesia
Era kepemimpinan Sri Mulyani Indrawati telah membuktikan bahwa stabilitas ekonomi adalah kunci utama dalam menghadapi tantangan global. Setelah melewati krisis keuangan besar seperti Asian Financial Crisis (AFC) dan Global Financial Crisis (GFC), Indonesia menyadari bahwa fondasi ekonomi yang kuat menjadi salah satu benteng terpenting untuk melindungi negara dari ancaman luar.
Kebijakan fiskal yang prudent, disiplin moneter, serta komitmen untuk menjaga peringkat investment grade tidak hanya menjadi pilihan, tetapi sebuah keharusan. Stabilitas ini memungkinkan dana asing masuk dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang pesat pada masa itu. Namun, situasi saat ini berbeda. Indonesia kini berada di posisi yang lebih kuat, dengan status sebagai middle-income economy dan fundamental makroekonomi yang diakui oleh dunia internasional.
Sementara itu, ketergantungan pada modal asing di pasar keuangan telah berkurang secara signifikan. Kini, kepemilikan Surat Berharga Negara (SBN) oleh investor domestik mencapai tingkat yang sangat tinggi, dengan Bank Indonesia dan perbankan nasional menjadi penopang utama. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia semakin mandiri dan mampu mengelola sumber daya sendiri.
Namun, di balik kesuksesan tersebut, tantangan baru mulai muncul. Pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya pesat kini mulai melambat. Angka pengangguran meningkat, yang berdampak pada ketidakstabilan sosial. Ketimpangan ekonomi juga semakin jelas, dengan uang yang terkonsentrasi di kalangan konglomerasi dan korporasi swasta yang kurang produktif.
Stabilitas, meskipun masih menjadi prioritas utama, ternyata tidak cukup untuk menjawab tantangan penciptaan lapangan kerja dan inovasi. Indonesia membutuhkan langkah-langkah yang lebih progresif, yaitu akselerasi pertumbuhan yang inklusif. Dalam konteks ini, figur seperti Pak Purbaya, dengan pengalamannya di sektor pasar modal dan pemerintahan, menjadi relevan. Keahliannya tidak hanya dalam memahami dinamika pasar modal, tetapi juga dalam merancang strategi yang mendorong partisipasi sektor swasta.
Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan memerlukan arsitek yang mampu menciptakan ekosistem yang memberi insentif bagi dunia usaha untuk berinvestasi, berinovasi, dan menciptakan lapangan kerja berkualitas. Di sisi pendapatan negara, kebijakan harus menjunjung keadilan tanpa mengabaikan upaya meningkatkan penerimaan negara. Salah satu cara adalah dengan mereformasi struktur pajak, seperti meningkatkan Batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk meningkatkan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah.
Selain itu, reformasi pajak perlu difokuskan pada wajib pajak berpenghasilan sangat tinggi dan pengenaan pajak atas kekayaan. Perubahan struktur cukai rokok juga dapat menjadi alat untuk mengoptimalkan pendapatan sekaligus mengendalikan konsumsi.
Di sisi belanja negara, kebijakan harus kreatif, berani, dan tetap prudent. Program-program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis dan pembangunan sekolah rakyat harus dipastikan efektif dan memiliki dampak multiplier yang besar. Partisipasi usaha lokal dalam program tersebut akan memperkuat perekonomian daerah.
Program padat karya tunai (Cash for Work) di perdesaan dan bantuan sosial yang tepat sasaran juga penting untuk meningkatkan daya beli dan mengurangi kesenjangan. Pemerintah juga dapat mempertimbangkan alokasi belanja modal dan barang kepada BUMN dan kolaborasi dengan sektor swasta untuk mendorong investasi.
Namun, satu hal yang mutlak tidak boleh dilupakan adalah menjaga peringkat investment grade. Kepatuhan terhadap prinsip tata kelola yang baik, transparansi, dan keberlanjutan adalah kunci untuk mempertahankan kepercayaan investor global. Capaian ini adalah aset berharga yang menjadi dasar pembiayaan baik melalui APBN maupun skema alternatif lainnya.
Kesimpulannya, Indonesia telah melewati fase survival dan membangun stabilitas. Kini, era pertumbuhan dan inovasi telah tiba. Kepemimpinan ekonomi ke depan harus mampu menjembatani dua dunia: menjaga disiplin fiskal yang sudah menjadi warisan, sekaligus mendorong terobosan-terobosan yang mampu membangkitkan kembali gairah investasi dan entrepreneurship. Stabilitas tanpa pertumbuhan inklusif akan berujung pada stagnasi, sedangkan pertumbuhan tanpa stabilitas adalah bom waktu. Tantangan terbesar bukan lagi menarik investor asing, tetapi bagaimana memanfaatkan kekuatan domestik dan kepercayaan global untuk membangun ekonomi yang lebih mandiri, produktif, dan mampu memberikan lapangan kerja bagi seluruh rakyat Indonesia.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!