
Tantangan Pariwisata dan Properti di Bali
Bali, sebagai salah satu destinasi wisata paling populer di dunia, terus menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan pertumbuhan pariwisata dan properti dengan keberlanjutan serta pelestarian budaya. Dengan meningkatnya jumlah wisatawan, sebanyak 2,64 juta kunjungan mancanegara pada Januari–Mei 2025, dan maraknya pembangunan properti yang sering kali melanggar aturan, Pulau Dewata ini membutuhkan pendekatan baru.
Kasus penghancuran 48 bangunan ilegal di Pantai Bingin pada Juli 2025 lalu hanyalah salah satu dari sekian banyak tantangan pasar properti dan regulasi di Bali. Pertumbuhan jumlah wisatawan secara tahunan mencapai 13,65 persen pada 2025, sementara secara triwulanan mencapai 591.221, atau naik 17,5 persen. Hal ini telah memicu over-tourism yang membebani infrastruktur, sumber daya air, dan pengelolaan limbah.
Peningkatan ini didorong oleh liburan Paskah dan penambahan rute penerbangan dari pasar utama seperti Tiongkok dan Australia. Di sisi lain, proliferasi akomodasi ilegal, seperti vila, homestay, dan kafe yang dibangun tanpa izin (IMB/PBG) atau melanggar aturan zonasi (RTRW), telah menciptakan tekanan pada harga kamar dan tingkat okupansi hotel resmi.
Komunikasi yang Kurang Efektif
Founder and Chief Executive Officer (CEO) Johannes Weissenback berpendapat bahwa masalah ini terjadi karena kurangnya komunikasi antara pemerintah dan industri properti sebagai salah satu akar masalah. "Regulasi sebenarnya sudah jelas, tetapi komunikasinya kurang. Tidak ada asosiasi industri yang memfasilitasi dialog antara pengembang dan pemerintah, sehingga banyak pengembang yang tidak mematuhi aturan karena ketidaktahuan atau menganggap regulasi tidak ditegakkan," ujar Johannes.
Selain itu, ia menekankan pentingnya pengembangan berkualitas ketimbang kuantitas. "Bali tidak bisa terus menambah jumlah wisatawan tanpa memperhatikan kualitas pengalaman dan dampaknya terhadap sumber daya pulau."
Regulasi yang Kaku dan Proses Perizinan yang Rumit
Kurangnya komunikasi dan tidak adanya asosiasi industri yang menjembatani antara kepentingan Pemerintah dan pengembang atau investor berdampak pada biaya tinggi ekonomi terkait perizinan dan birokrasi. Contohnya, Nuanu Creative City butuh dua tahun untuk menyeleraskan seluruh komponen perizinan, mulai dari Surat Izin Penunjukan Penggunaan tanah atau Izin Lokasi, Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), Perizinan Bangunan Gedung (PBG), dan lain-lain.
Belum lagi terkait izin lingkungan seperti Amdal, Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup atau UKL-UPL, Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RLL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) serta Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL).
Namun, ketika berbagai jenis regulasi ini dipenuhi, CEO Nuanu Creative City Lev Kroll menekankan, pemerintah seyogianya konsisten dalam mengimplementasikan dan menegakkannya. "Hal ini tak lain untuk kepastian hukum dalam berbisnis yang pada gilirannya para pebisnis pun merasa aman berinvestasi."
Ekosistem Terintegrasi
Lepas dari itu, Bali sejatinya membutuhkan model pengembangan yang tidak hanya menawarkan akomodasi atau destinasi wisata, tetapi sebuah ekosistem terintegrasi yang harmonis dengan regulasi, budaya lokal, dan keberlanjutan. Hal ini sebagaimana riset Colliers Indonesia yang menyatakan bahwa dengan tren dinamis yang terjadi belakangan ini, industri pariwisata dan properti Bali sempat mengalami koreksi pada awal tahun 2025.
Namun demikian, Bali tetap menjadi magnet bagi investor dan wisatawan. Hal ini terbukti dengan membaiknya kondisi Bali, di mana puncak kedatangan turis diperkirakan terjadi pada bulan Juli-Agustus, yang akan semakin mendongkrak kinerja fasilitas akomodasi atau hotel.
Kesiapan Menghadapi Tantangan Global
Wilayah Asia Pasifik masih mendominasi pasar internasional Bali, dengan Australia (23,2 persen), China (8,6 persen), dan India (8,2 persen) sebagai penyumbang terbesar. Namun, ketegangan geopolitik, seperti konflik Iran-Israel, diperkirakan dapat berdampak pada perjalanan turis Eropa, berpotensi mengurangi segmen ini hingga 10 persen sampai 25 persen.
Ketidakpastian ini menimbulkan tantangan bagi para pengelola hotel. Jangka waktu pemesanan yang semakin pendek, dari enam bulan menjadi hanya tiga bulan, membatasi strategi penentuan harga karena minimnya pemesanan jauh hari. Sementara itu, para pelancong tetap berhati-hati dan cenderung menghindari komitmen di tengah kondisi yang tidak terduga.
Keberlanjutan sebagai Keunggulan Kompetitif
Menurut Ferry, hotel-hotel yang ingin bertahan harus berinvestasi pada kepatuhan regulasi, pengalaman autentik, menarik, dan terutama berkelanjutan atau sustainability yang menjadi keunggulan kompetitif. Hotel-hotel besar telah mengadopsi program ramah lingkungan, mulai dari memaksimalkan cahaya alami, menggunakan botol kaca, hingga memiliki kebun di lokasi untuk konsep farm-to-table.
Selain itu, dalam era di mana teknologi mempermudah segala sesuatu, sentuhan personal justru menjadi pembeda. Colliers menyoroti bahwa di tengah otomatisasi, kehangatan interaksi manusia menjadi hal yang paling dicari.
Pusat Kreativitas dan Inovasi
Terkait hal ini, Kroll menjelaskan seyogianya sebuah destinasi baik pariwisata maupun properti dirancang dengan visi yang bukan sekadar menyediakan akomodasi, tetapi ekosistem yang menggabungkan budaya, alam, dan inovasi. "Inilah yang kami lakukan sekarang dan di masa depan. Kami ingin menciptakan pengalaman yang bermakna bagi pengunjung dan penduduk, sekaligus memberikan nilai investasi jangka panjang."
Melalui Nuanu Creative City, Kroll mencoba menjawab kebutuhan tersebut. Kawasan seluas 44 hektar yang terletak di pesisir barat daya Bali, ini dirancang sebagai pusat kreativitas, budaya, dan keberlanjutan. Berbeda dari destinasi wisata konvensional yang hanya menyediakan destinasi atau hotel-hotel stand alone, Nuanu mengintegrasikan lebih dari 30 pengalaman imersif.
Termasuk ruang seni, pusat kesehatan dan kebugaran, spa kelas dunia, kuliner dinamis, serta acara tahunan seperti CoinFest dan festival internasional. Dengan komitmen menjaga 70 persen areanya tetap hijau dan 25 persen ramah kupu-kupu, Nuanu menawarkan pendekatan holistik yang selaras dengan filosofi Bali, Tri Hita Karana, yang menekankan harmoni antara manusia, alam, dan spiritualitas.
Dengan pertumbuhan kunjungan bulanan 3.000-4.000 orang pada hari kerja hingga 3.000-5.000 orang pada akhir pekan atau sebesar 10–15 persen pada 2025 dan lebih dari 100 acara internasional sebelum pembukaan resmi, Nuanu dianggap sebagai daya tarik baru Bali. "Bali tidak lagi bisa mengandalkan model pengembangan konvensional yang hanya berfokus pada destinasi atau akomodasi. Lebih dari itu, eksosistem terintegrasi sansat penting," tuntas Kroll.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!