Kita Adalah Makanan Kita

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Makna Filosofis dan Praktis dari "We Are What We Eat"

Ungkapan “We Are What We Eat” sering kita dengar dalam dunia kesehatan modern. Ia menegaskan bahwa apa yang kita makan membentuk tubuh, pikiran, bahkan kepribadian kita. Pola makan yang buruk akan menghasilkan tubuh yang sakit dan pikiran yang lemah, sementara makanan sehat melahirkan daya tahan, kecerdasan, dan energi positif.

Sejarah ungkapan ini berawal dari Anthelme Brillat-Savarin, seorang penulis kuliner asal Prancis, yang dalam bukunya Physiologie du Goût (1826) menulis: “Dis-moi ce que tu manges, je te dirai ce que tu es” (“Katakan padaku apa yang kau makan, akan kukatakan siapa dirimu”). Ini dianggap sebagai versi awal dari ungkapan tersebut.

Selanjutnya, Ludwig Feuerbach, filsuf Jerman, dalam esainya tahun 1863, menulis: “Der Mensch ist, was er ißt” (“Manusia adalah apa yang ia makan”). Ia menekankan hubungan materialisme: tubuh dan jiwa ditentukan oleh makanan.

Pada era modern, ungkapan ini dipopulerkan kembali dalam wacana nutrisi, gaya hidup sehat, dan gerakan back to nature. Dalam konteks Islam, selaras dengan perintah Alquran untuk makan yang halal dan thayyib (QS Al-Baqarah:168).

Landasan Qurani: Halal, Thayyib, dan Amanah Pangan

Islam menekankan dua dimensi makanan: halal (sah secara hukum syariat, tidak haram, tidak najis, tidak hasil kezaliman) dan thayyib (baik secara gizi, higienis, bermanfaat, dan tidak merusak tubuh maupun alam). Kedua konsep ini saling melengkapi. Makanan bisa halal tetapi tidak thayyib (misalnya gorengan berulang kali dipakai minyak jelantah). Bisa juga thayyib tetapi tidak halal (misalnya anggur merah yang sehat, tapi difermentasi menjadi minuman keras).

Dalam QS ‘Abasa:24, Alquran memberi peringatan mendasar: “Maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya.” Ayat ini bukan sekadar ajakan untuk memperhatikan menu sehari-hari, melainkan perintah reflektif agar kita merenungi asal, proses, kualitas, hingga dampak dari makanan yang masuk ke tubuh. Dengan kata lain, konsep halalan thayyiban (halal dan baik) dalam Islam sesungguhnya adalah "puncak" dari prinsip We Are What We Eat.

Tantangan Pangan Global Saat Ini

Masalah pangan bukan hanya urusan pribadi, tetapi amanah sosial dan peradaban. Tantangan pangan global saat ini antara lain:

  • Krisis Pangan Global: Konflik geopolitik dan ketergantungan pada impor membuat kedaulatan pangan banyak negara terguncang. Indonesia, misalnya, masih tergantung pada impor gandum dan kedelai, padahal tanahnya subur untuk pangan lokal.
  • Fenomena Ultra-Processed Food: Makanan instan dan ultra-proses semakin mendominasi. Meskipun praktis, penuh zat aditif, rendah gizi, dan berpotensi menimbulkan obesitas, diabetes, hingga kanker.
  • Disinformasi Pangan: Konsumen dibombardir iklan dan buzzer yang mempromosikan produk “sehat” padahal manipulatif. Contohnya susu kental manis yang lama dipromosikan seolah “bergizi”, padahal kandungan gulanya sangat tinggi.
  • Stunting dan Gizi Buruk: Di negeri agraris, angka stunting masih tinggi. Artinya, ada ketidakseimbangan antara ketersediaan pangan, distribusi, edukasi gizi, dan daya beli masyarakat.

Dimensi Fitrah: Makanan, Pikiran, dan Peradaban

Makanan tidak hanya membentuk tubuh, tetapi juga akhlak dan cara berpikir. Imam Al-Ghazali pernah mengingatkan bahwa hati manusia bisa bersih atau kotor tergantung dari apa yang ia konsumsi.

Di sini, kita bisa memperluas makna We Are What We Eat menjadi: - We Are What We Think: Pikiran membentuk persepsi dan arah hidup. - We Are What We Do: Tindakan membentuk kebiasaan dan karakter. - We Are What We Speak: Ucapan membentuk reputasi dan pengaruh sosial. - We Are What We Support: Dukungan kita membentuk sistem sosial-politik.

Dengan kata lain, "makanan adalah pintu pertama", tetapi keberlanjutan hidup ditentukan oleh kesatuan makan-pikir-bicara-tindakan. Inilah fitrah manusia sebagai khalifah di bumi: menjaga amanah jasmani, rohani, dan sosial.

Langkah Konkret untuk Mengamalkan Prinsip Ini

Agar jargon We Are What We Eat tidak berhenti pada teori, ada langkah konkret yang bisa dilakukan:

  • Level Individu: Periksa halal dan thayyib. Biasakan membaca label, mencari tahu asal-usul makanan. Utamakan pangan lokal segar seperti sayur, buah, ikan, daging, telur, beras, dll. Ketimbang junk food. Moderasi konsumsi: ingat pesan Alquran, “makan dan minumlah, jangan berlebihan” (QS Al-A’raf:31).
  • Level Komunitas: Gerakan pangan lokal dan organik: koperasi tani, pasar sehat, urban farming. Literasi gizi berbasis Alquran dan sains di majelis taklim, sekolah, komunitas. Gerakan antihoaks pangan: membongkar iklan atau klaim menyesatkan.
  • Level Negara: Kedaulatan pangan: meminimalkan ketergantungan impor berlebihan. Kebijakan FSN (FOOD SECURITY AND NUTRITION) merancang ketersediaan, keterjangkauan, dan kualitas pangan untuk semua lapisan. Regulasi iklan pangan: jangan biarkan industri mengendalikan narasi publik. Investasi riset pangan halal-thayyib: mendorong inovasi produk lokal yang sehat, halal, dan berdaya saing global.

Kesimpulan

We Are What We Eat bukan sekadar kalimat motivasi, tapi amanah Qurani. QS ‘Abasa:24 menegaskan bahwa manusia wajib memperhatikan makanannya: apakah halal, thayyib, menyehatkan, dan tidak merusak lingkungan. Dalam konteks global yang penuh disinformasi, krisis pangan, dan gaya hidup serba instan, kembali kepada prinsip halal-thayyib adalah solusi fitrah. Ia tidak hanya menyehatkan tubuh, tapi juga menyehatkan pikiran, menjaga akhlak, dan memperkuat ketahanan bangsa.

Jika kita serius mengamalkan pesan Alquran ini, maka kita tidak hanya sekadar menjadi what we eat, tetapi juga menjadi manusia yang utuh: sehat jasmani rohani, jernih akal, bersih hati, dan kokoh peradaban. Makan bukan sekadar kenyang. Ia adalah amanah: halal untuk iman, thayyib untuk kesehatan, dan adil untuk peradaban. QS ‘Abasa:24 mengingatkan: perhatikan makananmu. Karena dari situlah lahir sehat atau sakitnya tubuh, jernih atau keruhnya akal.

Pangan halal-thayyib adalah benteng bangsa. Krisis pangan bukan hanya soal perut, tapi soal martabat dan kedaulatan. “We are what we eat— dan kita akan binasa jika makan hoaks, junk food, dan ketergantungan impor.” Menjaga makanan berarti menjaga fitrah, menjaga iman, dan menjaga masa depan. Negeri kita, dengan anugerah tanah air yang subur, punya potensi produk pangan yang halal dan thoyyib. Dan itu pasti berkah untuk penduduk negerinya berikut warga dunia. Insyaa Allah kita mampu!