
Kepala Desa di Aceh yang Diadukan Karena Inovasi Pertanian
Di tengah semangat membangun desa melalui pertanian, kisah ironis menimpa seorang kepala desa di Aceh pada 2019 silam. Tengku Munirwan, Kepala Desa Meunasah Rayeuk, Kecamatan Nisam, Aceh Utara, yang pernah meraih penghargaan nasional berkat inovasinya dalam bidang pertanian, justru harus berurusan dengan hukum.
Alih-alih diapresiasi, ia dipolisikan karena benih padi unggul hasil pengembangannya dianggap belum memiliki sertifikat resmi. Bagaimana kisah Munirwan, sang inovator benih padi IF8 yang sempat menyejahterakan warganya, tetapi akhirnya harus berhadapan dengan jeruji besi?
Awal Mula Kasus
Kasus ini bermula dari aduan pemerintah daerah. Tengku Munirwan ditahan Polda Aceh usai adanya laporan dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh. Laporan tersebut menyebutkan bahwa benih padi IF8 yang ia sebarkan belum memiliki sertifikasi resmi. Benih tersebut diketahui telah diedarkan ke komunitas petani di sejumlah wilayah Aceh Utara.
Direktur Koalisi NGO HAM, Zulfikar, selaku pendamping hukum Munirwan, mengungkapkan bahwa kliennya mulai ditetapkan sebagai tersangka pada Juli 2019. Ia dijerat dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 juncto Pasal 2 tentang Sistem Budidaya Tanaman. “Dia (Munirwan) dipanggil sebagai saksi, kemudian langsung ditetapkan sebagai tersangka,” ungkap Zulfikar.
Menurutnya, penangkapan Munirwan dilakukan berdasarkan laporan tertulis Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh yang menuding adanya penyaluran benih tanpa label. Surat tersebut juga ditembuskan ke Menteri Pertanian RI, Gubernur Aceh, dan Dinas Pertanian serta Pangan Aceh Utara.
Benih yang Berasal dari Program Pemerintah
Sekretaris Badan Usaha Milik Gampong (BUMG) Aceh, Al Fadhir, menyayangkan langkah hukum yang ditempuh pemerintah. Menurut dia, benih padi IF8 yang dikembangkan Munirwan sejatinya berasal dari bantuan Gubernur Aceh nonaktif, Irwandi Yusuf, pada 2017.
“Padahal bibit padi IF8 itu awalnya diberikan oleh gubernur dan merupakan bagian dari program ketahanan pangan Pemerintah Aceh (Aceh Traue),” jelasnya. Al Fadhir menambahkan, pengembangan IF8 justru sejalan dengan program pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 dan Permendes Nomor 4 Tahun 2015.
Bahkan, pada 2018, Munirwan sempat meraih penghargaan nasional peringkat dua dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi berkat inovasinya. Setelah ada bursa inovasi itu, seluruh desa di Aceh Utara mulai menanam IF8 karena terbukti meningkatkan hasil panen petani.
Alasan Penahanan
Polda Aceh menegaskan bahwa penahanan dilakukan karena dugaan pelanggaran hukum dalam distribusi benih padi IF8. Kombes Pol Teuku Saladin, saat itu Direskrimsus Polda Aceh, menyatakan Munirwan diduga mengedarkan benih tanpa label resmi melalui PT Bumades Nisami Indonesia (BNI), perusahaan yang ia pimpin, bukan lewat Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
“Yang kami proses hukum terhadap Tengku Munirwan bukan sebagai petani, bukan sebagai kepala desa, tapi sebagai Direktur Utama PT Bumades Nisami Indonesia,” jelasnya dalam konferensi pers.
Simpati Publik dan Tindakan Pemkab Aceh Utara
Penahanan Munirwan memicu simpati publik. Banyak pihak menilai kriminalisasi terhadap inovasi pertanian justru melemahkan semangat kemandirian pangan. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Utara pun turun tangan. Wakil Bupati saat itu, Fauzi Yusuf atau Sidom Peng, menyatakan siap mendampingi pengembangan benih IF8.
“Kami akan pelajari semua kendala serta syarat sertifikasi agar benih IF8 segera diakui resmi,” ujarnya. Menurut Sidom, hasil panen IF8 yang lebih tinggi dibanding varietas lain menjadi bukti bahwa inovasi tersebut layak didukung. Meski demikian, ia tetap menegaskan bahwa proses hukum terhadap Munirwan harus dihormati.
Penangguhan Penahanan
Sebelumnya, Polda Aceh resmi menahan Munirwan atas dugaan menjual benih padi IF8 yang belum memiliki sertifikasi dari Kementerian Pertanian RI. Namun, berkat desakan dan dukungan dari berbagai elemen masyarakat, permohonan penangguhan penahanan akhirnya dikabulkan. Munirwan kemudian kembali ke kampung halamannya, meski proses hukum saat itu masih tetap berjalan.
Saladin menegaskan, penangguhan tersebut bukan karena desakan publik, melainkan murni pertimbangan kemanusiaan. “Penangguhan dikabulkan karena orang tua Tgk Munirwan besok dijadwalkan berangkat menunaikan ibadah haji, selain itu ia juga menjabat sebagai kepala desa. Jadi bukan karena tekanan publik.”
Lebih lanjut, Saladin menambahkan masa penangguhan tidak memiliki batasan waktu pasti. Kebijakan itu bisa berlaku hingga tahap penuntutan, asalkan Munirwan bersikap kooperatif selama proses penyidikan. “Penangguhannya bisa sampai tahap penuntutan, selama yang bersangkutan kooperatif.”
Kritik DPR Aceh dan Dugaan Persaingan Bisnis
Kasus Munirwan turut mendapat sorotan DPR Aceh. Ketua Komisi II DPR Aceh saat itu, Nurzahri, menilai penetapan tersangka merupakan bentuk kriminalisasi. “Inovasi IF8 justru meningkatkan produktivitas petani. Seharusnya pemerintah membantu sertifikasi, bukan melaporkan ke polisi,” ujarnya.
Nurzahri bahkan menduga ada persaingan bisnis di balik laporan tersebut. “Bibit IF8 bisa menghasilkan hampir dua kali lipat lebih banyak. Kami menduga ada kepentingan lain dalam kasus ini.”
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!