
Sejarah Berdirinya NU di Banten yang Tidak Terlepas dari Tokoh-Tokoh Ulama
Nahdlatul Ulama (NU) di Banten memiliki sejarah panjang yang terbentuk melalui perjuangan dan dedikasi para tokoh ulama. Dua jejak emas utama yang tidak bisa dipisahkan adalah peran KH. Abdul Latif di Cilegon serta para santri Syeikh Nawawi al-Bantani. Kedua tokoh ini menjadi fondasi kuat dalam menegakkan tradisi Ahlussunnah wal Jamaah di wilayah Jawara.
KH. Abdul Latif dikenal sebagai seorang ulama yang memiliki karisma luar biasa di Cilegon. Pada tahun 1925, beliau menerima mandat langsung dari Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari untuk mendirikan NU di Banten. Namun, alih-alih mengambil posisi sebagai pengurus awal, beliau justru menunjuk muridnya, KH. Salim bin Konun, sebagai pengurus pertama NU di Banten. Keputusan ini mencerminkan keikhlasan dan kebijaksanaan KH. Abdul Latif dalam membangun organisasi tersebut.
Sejak saat itu, NU mulai berkembang di kota-kota seperti Serang dan Cilegon. KH. Abdul Latif tetap berperan sebagai mustasyar atau pembimbing. Prinsipnya sangat sederhana: NU adalah satu-satunya jalan. Ketika ditanya tentang partai yang ia dukung, beliau menjawab bahwa yang ia dukung hanyalah NU, tanpa adanya partai lain.
Pesan penting dari KH. Abdul Latif kepada KH. Bahren Pejaten juga masih dikenang hingga saat ini. Beliau menyampaikan pesan bahwa jika ada NU, maka ikutilah karena di sana ada Rasulullah. Pesan ini menjadi dasar spiritual bagi generasi penerus bahwa NU adalah wadah perjuangan para pewaris Nabi.
Selain berkontribusi dalam pendirian NU, KH. Abdul Latif juga memperkuat pesantren di Cibeber. Ribuan santri menimba ilmu di sana, menjadikannya salah satu pusat pendidikan Islam tradisional yang terkemuka di Banten pada abad ke-20. Hingga akhir hayatnya pada tahun 1960, beliau tetap aktif dalam berkhidmat, bahkan meninggalkan sebutan "Bani Latif" untuk anak-anak ideologisnya.
Di sisi lain, sejarah NU di Banten juga tak lepas dari peran para santri Syeikh Nawawi al-Bantani. Saat dunia Islam diguncang oleh paham Wahabi pada awal abad ke-20, para santri Syeikh Nawawi menjadi benteng kokoh dalam menjaga tradisi Aswaja di Nusantara. Mereka melakukan pertemuan penting demi menjaga kitab kuning klasik dan praktik keagamaan yang selaras dengan budaya lokal.
Salah satu tokoh kunci dari Banten adalah KH. Mas Abdurrahman, ulama Mat’laul Anwar. Ia lahir pada tahun 1868 di lereng Gunung Haseupan, Pandeglang. Sebagai murid langsung Syeikh Nawawi dan sezaman dengan KH. Hasyim Asy’ari, pertemuan mereka di Tanah Suci melahirkan semangat bersama untuk mendirikan NU.
Beberapa pesantren di Banten memiliki identitas linahdlotil ulama, seperti Jauharotun Naqiyah Cibeber, al-Khaeriyah Citangkil, dan Nurul Falah Petir. Selain itu, tokoh-tokoh lain seperti KH. Saiman Cibinglu, KH. Ma’mun Labuan, KH. Abbas Cibaliung, dan KH. Ali Husen Mandalawangi turut memperkuat jejaring keulamaan di Banten.
Momen besar datang ketika Muktamar NU ke-12 di Malang tahun 1937, yang kemudian menetapkan Menes, Banten, sebagai tuan rumah Muktamar ke-13. Peristiwa ini menempatkan Banten di panggung nasional perjalanan NU.
Setelah kemerdekaan, kiprah ulama Banten terus berlanjut. Pada Muktamar Palembang 1952, tiga tokoh hadir: KH. Amin Jasuta, KH. Ayip Muhammad Dzuhri, dan KH. Uwes Abu Bakar. Meski terjadi perbedaan pandangan mengenai keputusan NU keluar dari Masyumi, mayoritas ulama tetap menjaga NU sebagai wadah utama perjuangan.
Dinamika internal Math’laul Anwar sempat terjadi, namun mayoritas ulama Banten tetap mempertahankan embel-embel linahdlotil ulama agar tradisi NU tidak tercerabut dari akar Aswaja. Dari situ, sanad keilmuan terjaga hingga generasi berikutnya, termasuk ulama besar Abuya Dimyati.
Kisah KH. Abdul Latif dan jejaring santri Syeikh Nawawi al-Bantani menjadi bukti bahwa NU di Banten lahir dari perjuangan, kesederhanaan, dan pengorbanan. Sebuah warisan ruhani yang hingga kini terus dijaga oleh Ansor, Banser, dan seluruh warga Nahdliyin agar Aswaja tetap tegak di bumi Banten.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!