
Sidang Kasus Korupsi Dana Hibah GMIM: Konsistensi Kesaksian Jadi Sorotan
Dalam persidangan kasus dugaan korupsi dana hibah Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) di Pengadilan Negeri Manado, Sulawesi Utara, tiga orang saksi yang merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Pemerintah Provinsi Sulut hadir. Mereka adalah Melky Matindas, Jimmy Pantouw, dan Ferni Karamoy. Namun, kesaksian dari beberapa saksi ini menimbulkan perhatian khusus dari majelis hakim dan tim pengacara.
Salah satu saksi yang mendapat perhatian adalah Melky Matindas. Kesaksian yang ia berikan dinilai tidak konsisten oleh majelis hakim dan tim pengacara. Hal ini membuat Hakim Ketua Achmad Peten Sili sering memberikan teguran kepada Melky selama proses sidang. Bahkan, dalam satu momen, Hakim Achmad menyatakan bahwa Melky seharusnya menjadi terdakwa karena kesaksian yang tidak jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
"Saya sudah peringatkan saksi agar ngomong apa adanya, jangan dusta-dusta, nanti susah sendiri," ujar Hakim Achmad. Peringatan ini menunjukkan bahwa kesaksian yang diberikan oleh Melky tidak cukup meyakinkan bagi majelis hakim.
Dalam kesaksian Melky, ia menyebutkan bahwa pencairan dana hibah sebesar Rp 18 miliar untuk GMIM tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku. Menurutnya, pada tahun 2019 tidak ada proposal yang masuk dari GMIM, tetapi dana tersebut tetap dianggarkan pada tahun 2020. Ia mengklaim bahwa pencairan dana dilakukan atas "arahan pimpinan."
Kesaksian Melky ini diperkuat oleh saksi lain, yaitu Jimmy Pantouw. Ia juga membenarkan bahwa tidak ada pengajuan proposal dari GMIM pada tahun 2019. Selain itu, saksi Ferni Karamoy mengaku menerima petunjuk lisan dari terdakwa Jefry Korengkeng untuk melakukan pencairan dana tersebut.
Frangky Weku, pengacara terdakwa AGK, menyoroti inkonsistensi kesaksian Melky. Ia bahkan mengusulkan agar Melky ditetapkan sebagai terdakwa. Menurut Frangky, nyata dalam sidang bahwa Melky-lah yang membuat dokumen terkait pencairan dana hibah tersebut. "Hingga saya mengusulkan agar saksi Melky dijadikan terdakwa," katanya.
Diketahui, kasus ini bermula pada Agustus 2019 saat finalisasi penyusunan Rencana Kerja Anggaran (RKA) Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Sulut untuk Tahun Anggaran 2020. Saat itu, Jeffry Robby Korengkeng (JRK) sebagai Kepala BKAD sekaligus Bendahara Umum Daerah, meminta agar Sinode GMIM dimasukkan sebagai penerima hibah. Permintaan ini ditolak oleh beberapa pejabat teknis, termasuk Melky Wensy Matindas dan Jimmy Tommy Albert Pantouw.
Alasannya, Sinode GMIM belum menyerahkan proposal permohonan hibah dan dokumen akta notaris badan hukum masih menggunakan data lama tanpa perubahan kepengurusan. Meskipun demikian, Jeffry Korengkeng bersama Asiano Gamy Kawatu (AGK) tetap meminta nama Sinode GMIM dicantumkan. Tahap evaluasi formal yang biasanya menjadi dasar pencantuman penerima hibah pun dilewati.
Dalam pembahasan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) bersama DPRD, pembahasan hibah disebut dilakukan secara global tanpa menyinggung penerima secara spesifik. Hasilnya, DPRD menyetujui anggaran belanja hibah tahun 2020 senilai Rp37,204 miliar. APBD Provinsi Sulut Tahun Anggaran 2020 resmi ditetapkan pada 30 Desember 2019, dengan dana hibah yang salah satunya ditujukan untuk Sinode GMIM.
Setelah APBD disahkan, barulah pada Januari 2020 pejabat Pemprov Sulut meminta Sinode GMIM menyiapkan proposal permohonan hibah. Melky Matindas bahkan disebut langsung menghubungi staf Sinode, Gebby Mareska Tuelah, untuk menyusun dokumen yang disesuaikan dengan anggaran yang sudah tertera. Proposal permohonan hibah kemudian dibuat dengan Surat Nomor: K/0982.A/UM I.A/05-2019 tertanggal 31 Mei 2019, yang ditandatangani Ketua Sinode GMIM, Pdt. Hein Arina, Th.D., bersama Sekretaris Pdt. Evert Tangel, S.Th., M.Pd.K., dan Bendahara Sym. Recky Janeman Montong, M.Th.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!