
Penguatan Koordinasi Bisnis dan HAM di NTT
Kantor Wilayah Kementerian Hak Asasi Manusia (Kemenham) Nusa Tenggara Timur (NTT) melakukan langkah penting dalam memperkuat koordinasi terkait bisnis dan hak asasi manusia (HAM). Kegiatan ini dilakukan bersama gugus tugas daerah serta pelaku usaha di provinsi tersebut, dengan tujuan untuk memastikan implementasi Strategi Nasional Bisnis dan HAM sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2023. Hal ini disampaikan oleh Oce Naomi Boymau, Plt. Kepala Kantor Wilayah Kemenham NTT di Kupang, Jumat.
Pertemuan ini menegaskan bahwa isu bisnis dan HAM tidak dapat dipisahkan dari pembangunan berkelanjutan. Dalam konteks NTT yang kaya akan potensi sumber daya alam serta sektor pariwisata, pertanian, dan industri kreatif, sangat penting untuk memastikan pertumbuhan ekonomi tidak mengorbankan hak-hak dasar masyarakat, baik pekerja maupun komunitas lokal.
Melalui rapat koordinasi ini, para narasumber memberikan wawasan strategis dan teknis, mulai dari perspektif global bisnis dan HAM, kebijakan nasional, hingga hasil evaluasi BHAM NTT. Kehadiran pelaku usaha menunjukkan bahwa dunia bisnis di NTT semakin terbuka terhadap prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan.
Oce Naomi Boymau optimistis bahwa sinergi antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil menjadi kunci mewujudkan ekosistem bisnis yang menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia. Melalui rakor ini, pihaknya memetakan hal-hal yang belum dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan rencana aksi bisnis dan HAM untuk selanjutnya bisa dievaluasi.
Tiga Pilar Bisnis dan HAM
Direktur Kepatuhan HAM, Masyarakat, Komunitas, dan Pelaku Usaha Dirjen Pelayanan dan Kepatuhan HAM Kemenham, Siti Fajar, menjelaskan tiga pilar utama dalam bisnis dan HAM. Pertama adalah perlindungan (protect), yakni kewajiban pemerintah melindungi individu atau kelompok dari pelanggaran HAM oleh pihak ketiga termasuk pelaku bisnis. Kedua, penghormatan (respect), yakni tanggung jawab korporasi atau pelaku usaha untuk menghormati HAM. Ketiga, pemulihan (remedy), yaitu tersedianya akses pemulihan baik yudisial maupun non-yudisial bagi korban dari dampak operasional bisnis.
Bisnis yang mengabaikan HAM berpotensi berdampak buruk bagi pekerja, masyarakat, dan lingkungan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Oleh karena itu, penerapan prinsip-prinsip HAM dalam bisnis menjadi sangat penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang adil dan berkelanjutan.
Dengan adanya penguatan koordinasi dan kesadaran yang meningkat dari berbagai pihak, diharapkan NTT dapat menjadi contoh dalam mengintegrasikan bisnis dengan HAM, sehingga mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan adil bagi semua pihak.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!