
Ketika Olahraga Berubah Jadi Pencitraan Digital
Saat sebuah berita online muncul di media sosial, banyak orang langsung merasa terkejut. Tidak hanya karena isinya, tetapi juga karena betapa janggalnya situasi yang digambarkan. Dalam kasus ini, Car Free Day di Jakarta, yang seharusnya menjadi momen kebersamaan dan semangat hidup sehat, justru menimbulkan kisah yang tidak biasa.
Berita tersebut menggambarkan bagaimana olahraga, yang semestinya menjadi bentuk perawatan tubuh dan kebugaran, kini bisa dijual belikan dalam bentuk catatan digital. Fenomena ini memicu pertanyaan besar: Apakah olahraga masih memiliki maknanya jika hanya sekadar tampilan?
Langkah yang Diperjualbelikan
Dalam cerita yang beredar, seorang remaja bernama Jason (16 tahun) duduk di trotoar Bundaran HI dengan napas tersengal. Bukan karena ia sedang lari biasa, melainkan karena baru saja menyelesaikan "tugas" dari seseorang: berlari lima kilometer dengan kecepatan enam menit per kilometer agar catatan itu tampak gagah di aplikasi Strava milik sang klien.
Ini disebut sebagai fenomena joki Strava. Istilah yang mungkin terdengar asing, tetapi nyata adanya. Dengan bayaran hingga Rp300 ribu sekali lari, Jason dan teman-temannya menjual sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan: prestasi semu di dunia maya.
Motivasi di Balik Jasa Joki Strava
Lalu, apa yang membuat seseorang rela membayar untuk mendapatkan angka di layar? Beberapa alasan bisa menjadi jawabannya:
-
Validasi Sosial
Strava kini seperti Instagram untuk olahraga. Catatan jarak dan kecepatan yang baik bisa menjadi simbol disiplin dan gaya hidup sehat. Banyak orang ingin mendapat sorakan digital, meski hanya berupa like dan komentar. -
Fear of Missing Out (FOMO)
Ketika linimasa penuh dengan unggahan lari dari teman-teman, ada rasa takut tertinggal. Membayar joki menjadi jalan pintas untuk ikut serta dalam tren itu. -
Simbol Status
Ini mirip dengan menyewa tas mewah hanya untuk difoto atau membeli followers agar terlihat populer. Membayar joki Strava mengirimkan pesan samar: “Aku juga mampu. Aku juga bagian dari tren ini.” -
Mentalitas Instan
Hasil lebih penting daripada proses, pencitraan lebih utama daripada kenyataan. Sehat yang diinginkan bukan untuk tubuh, melainkan untuk citra di layar.
Ketika Olahraga Kehilangan Esensinya
Joki Strava adalah fenomena yang memiliki dua sisi mata uang. Di satu sisi, tidak ada yang benar-benar dirugikan. Sang joki mendapat penghasilan, bahkan sekaligus memperoleh manfaat sehat dari berlari. Sementara si klien merasa puas karena punya catatan digital yang tampak mengesankan. Semua tampak "saling untung."
Namun di sisi lain, ada yang terasa janggal. Bukankah olahraga sejatinya untuk tubuh sendiri, bukan sekadar data di layar? Membayar orang lain agar terlihat rajin berlari justru membuat seseorang kehilangan esensi olahraga itu sendiri.
Refleksi: Sehat Adalah Kenyataan, Bukan Pencitraan
Pada akhirnya, kita harus bertanya: untuk apa semua ini? Bukankah tujuan berlari sesederhana menjaga tubuh tetap bugar, menjaga napas tetap panjang, dan hati tetap lapang? Apa artinya catatan digital yang tampak gagah, jika kaki kita sendiri tak pernah benar-benar melangkah?
Sehat di layar tidak sama dengan sehat di tubuh. Validasi dari like dan komentar tak akan menggantikan oksigen yang lebih deras masuk ke paru-paru saat kita berlari sungguhan.
Tren joki Strava hanyalah gejala kecil dari hasrat besar manusia modern: terlihat berhasil, terlihat disiplin, terlihat sehat. Padahal esensi olahraga—dan hidup sehat—bukanlah soal terlihat, melainkan soal menjadi.
Olahraga sejatinya bukan untuk pengakuan dari siapa pun, melainkan untuk menjaga tubuh yang kelak akan kita tinggali sepanjang hayat. Karena pada akhirnya, yang benar-benar kita butuhkan bukanlah catatan digital, melainkan napas yang tak mudah terengah, tubuh yang lebih kuat, dan jiwa yang lebih tenang. Sehat adalah kenyataan yang harus dirasakan, dijalani, dan disyukuri, bukan sekadar kesan yang dibangun.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!