Gelombang Panas Ekstrem Picu Kenaikan Harga Beras dan Ikan di Jepang

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Dampak Gelombang Panas pada Pasokan dan Harga Bahan Pangan di Jepang

Gelombang panas yang melanda Jepang telah memicu berbagai tantangan dalam pasokan bahan pangan, terutama mengenai ketersediaan dan harga dari beberapa jenis makanan laut. Salah satu contohnya adalah bulu babi (bafun), yang sebelumnya dianggap sebagai hidangan mewah namun kini menjadi semakin langka dan mahal.

Di tengah musim panas terpanas dalam sejarah Jepang, penurunan tajam dalam jumlah tangkapan bulu babi di wilayah utara negara ini menyebabkan sulitnya akses bagi konsumen. Di Pulau Rishiri, Hokkaido, restoran menawarkan semangkuk nasi berisi 100 gram bulu babi bafun dengan harga rekor mencapai 15.000–18.000 yen atau setara US$100 hingga US$120. Angka ini hampir dua kali lipat dibandingkan beberapa tahun lalu.

Kimiko Sato, pemilik restoran Sato Shokudo, mengungkapkan bahwa para pelanggan terkejut dengan harga tersebut. "Banyak pelanggan hanya berbagi satu mangkuk bulu babi, sementara mereka memesan ramen sendiri-sendiri," katanya.

Meskipun bulu babi secara tradisional dianggap sebagai barang mewah, kenaikan harga yang signifikan membuatnya tidak lagi terjangkau bagi banyak orang. Hal ini juga memengaruhi acara-acara khusus yang biasanya diadakan oleh keluarga-keluarga Jepang. Kenaikan harga makanan menjadi masalah mendesak bagi pihak berwenang di Tokyo.

Kenaikan harga pangan telah meningkatkan pengeluaran rata-rata rumah tangga Jepang untuk makanan hingga 30%, yang merupakan angka tertinggi dalam 43 tahun terakhir. Para pembuat kebijakan sebagian besar menyalahkan kenaikan harga ini pada tekanan dari melemahnya nilai tukar yen terhadap mata uang asing dan dampak perubahan iklim.

Direktur Eksekutif Koperasi Perikanan Rishiri Tatsuaki Yamakami menjelaskan bahwa tangkapan bulu babi telah berkurang hingga setengahnya dibandingkan tahun lalu. "Harga melonjak karena rendahnya hasil tangkapan. Saya pikir kenaikan suhu laut adalah penyebabnya. Ini situasi yang mengkhawatirkan," ujarnya.

Menurut Yamakami, harga tertinggi 10 kilogram bulu babi bafun Rishiri, yang tumbuh subur di perairan dingin, telah melonjak menjadi 90.000 yen, lebih dari dua kali lipat dari sekitar 40.000 yen dua tahun lalu.

Peneliti Senior Badan Penelitian dan Pendidikan Perikanan Jepang Shigeho Kakehi menyampaikan bahwa suhu air di seluruh Jepang telah meningkat sekitar 5 derajat Celsius dalam beberapa tahun terakhir. Wilayah Tohoku, yang dulu menjadi daerah penghasil salmon utama, kini mengalami penurunan produksi akibat pergeseran arus laut hangat ke utara.

Volume spesies air dingin seperti salmon, cumi-cumi, dan sauri telah menurun tajam selama 20 tahun terakhir, sementara harga per kilogramnya melonjak hampir lima kali lipat. Meskipun ikan dan makanan laut hanya menyumbang sebagian kecil dari keranjang belanja masyarakat, kontribusinya terhadap inflasi umum cukup signifikan.

Kepala Ekonomi Pasar Jepang dan Perbatasan Moody's Analytics Stefan Angrick menyatakan bahwa dampak ekonomi perubahan iklim tidak lagi sekadar teoretis. "Peristiwa cuaca ekstrem dan peningkatan suhu global rata-rata merupakan alasan mengapa kami memperkirakan inflasi akan lebih tinggi secara struktural di masa depan," ujarnya.

Harga pangan di Jepang naik 7,6% pada Juli dibandingkan periode yang sama tahun lalu, meningkat dari 7,2% pada Juni. Beras, yang juga terdampak oleh cuaca hangat, tetap menjadi penyumbang utama inflasi pangan. Pangan segar, yang biasanya tidak dimasukkan dalam pengukuran inflasi karena volatilitasnya, naik 3,3% bulan lalu, naik dari 1,6% pada Juni.

Inflasi ikan dan makanan laut sedikit menurun, menjadi 2,5% dari 3,9%. Perusahaan riset Teikoku Databank menyatakan gelombang panas Tokyo menghantam pengeluaran rumah tangga untuk makanan laut, yang terdampak oleh kenaikan harga akibat kenaikan suhu mengurangi volume tangkapan.

Meskipun yen yang melemah menjadi pendorong utama inflasi pangan, perubahan iklim juga menjadi perhatian bank sentral. Anggota dewan Bank of Japan (BOJ) Naoki Tamura mengatakan laju kenaikan harga pangan segar, termasuk makanan laut, telah meningkat jauh lebih cepat daripada harga keseluruhan sejak awal 2022.

Meski kekurangan tenaga kerja dan kenaikan utilitas serta biaya lainnya menjadi faktor kunci, Tamura menyoroti dampak cuaca yang tidak menentu akibat perubahan iklim yang membuat harga pangan segar dan lainnya berdampak negatif pada rumah tangga.

Direktur Konsultan Eurasia Group David Boling mengatakan inflasi Jepang tetap rendah dibandingkan negara lain, tetapi masih membebani masyarakat, terutama karena gaji belum naik. Pergeseran ini sangat sulit bagi lansia berpenghasilan tetap.

Jepang menargetkan peningkatan rasio swasembada pangan secara keseluruhan menjadi 69% berdasarkan nilai produksi pada tahun fiskal 2030, naik dari sekitar 60% saat ini. Namun, target ini mungkin rumit akibat tekanan iklim. "Sekalipun kita berusaha keras dengan mengurangi emisi melalui energi terbarukan, suhu tetap akan naik sekitar 1–1,5 derajat Celsius pada tahun 2100. Kuantitas dan waktu penangkapan ikan pemijahan dan ikan yang baru lahir harus diatur," ucap Kakehi.