Peran Etika dan Empati dalam Kepemimpinan Publik
Pernyataan yang disampaikan oleh seorang pejabat negara, terutama di ruang publik, memiliki dampak yang signifikan terhadap masyarakat. Dalam konteks ini, pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa setelah pelantikan menjadi topik diskusi yang menarik. Ia menyampaikan bahwa aspirasi dari kelompok tertentu bisa hilang jika pertumbuhan ekonomi mencapai angka yang memadai. Meskipun terdengar optimis, pilihan kata dan framing yang digunakan dapat dianggap sebagai pengabaian terhadap suara rakyat.
Dalam etika kepemimpinan, setiap ucapan pejabat tidak hanya tentang isi pesannya, tetapi juga bagaimana pesan tersebut diterima dan dipahami oleh masyarakat. Kesombongan dalam bahasa agama sering kali dikaitkan dengan penolakan kebenaran dan merendahkan martabat manusia. Dalam konteks kepemimpinan, hal ini bisa terwujud dalam kebijakan atau retorika yang mengabaikan kelompok tertentu, meski jumlahnya sedikit.
Neurosains dan Hilangnya Empati
Dari sudut pandang neurosains, kesombongan dapat dijelaskan melalui fungsi otak. Otak manusia terdiri dari beberapa bagian yang saling terhubung. Dua wilayah utama yang relevan adalah sistem limbik, pusat emosi termasuk empati, dan prefrontal cortex, pusat pengambilan keputusan moral serta kontrol diri. Ketika jalur komunikasi antara kedua wilayah ini terganggu, maka kemampuan untuk merasakan empati berkurang. Hal ini dapat menyebabkan dominasi "lower brain", yaitu bagian otak yang lebih primitif dan cenderung merespons dengan naluri mempertahankan posisi, superioritas, serta penolakan terhadap pihak lain.
Dalam komunikasi publik, kondisi ini bisa terlihat dalam bentuk mengabaikan nilai emosional dari aspirasi publik, memprioritaskan data makro tanpa mempertimbangkan konteks sosial, serta menggunakan framing yang merendahkan legitimasi suara minoritas.
Bioetika dalam Kepemimpinan Publik
Bioetika, yang biasanya digunakan dalam bidang medis, juga relevan dalam kepemimpinan publik. Empat prinsip utama bioetika yang dapat diterapkan adalah: Beneficence (Berbuat Baik), Non-Maleficence (Tidak Mencelakakan), Justice (Keadilan), dan Respect for Autonomy (Menghormati Pilihan). Selain itu, dua prinsip tambahan seperti Veracity (Kejujuran) dan Fidelity (Kesetiaan pada Amanah) juga penting dalam menjaga kredibilitas pemimpin.
Dalam konteks pernyataan Menteri Keuangan, aspek yang patut dikritisi adalah potensi pelanggaran Justice dan Respect for Autonomy ketika suara sebagian rakyat diabaikan demi fokus pada target pertumbuhan ekonomi makro.
Bahaya "Dismissive Leadership"
Mengabaikan atau mengecilkan aspirasi publik merupakan bentuk dari "dismissive leadership". Gaya kepemimpinan ini menganggap keluhan atau kritik sebagai gangguan sementara yang akan hilang jika "angka-angka" ekonomi membaik. Namun, sejarah menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak selalu menjamin meredanya tuntutan sosial jika masalah keadilan distribusi, transparansi, dan keterlibatan publik tidak diselesaikan.
Aspirasi minoritas sering kali menjadi katalis perubahan besar, bahkan jika awalnya dianggap kecil. Dalam komunikasi publik, tone yang dismissive dapat memperlebar trust deficit antara pemerintah dan rakyat. Rakyat bukan hanya menilai kinerja pemerintah dari capaian angka, tetapi juga dari rasa dihargai dan dilibatkan.
Menggabungkan Ayat, Neurosains, dan Etika
Jika kita tarik benang merah dari tiga perspektif besar yaitu agama, neurosains, dan etika kepemimpinan, maka akan tampak sebuah pola yang konsisten tentang akar dan dampak kesombongan, serta jalan keluarnya. Al-Qur’an menegaskan bahwa kesombongan (al-kibr) adalah dua hal yang saling terkait: batru al-haqq (menolak kebenaran) dan ghamtu al-naas (merendahkan martabat manusia).
Neurosains memberikan penjelasan biologis mengapa perilaku sombong dan meremehkan orang lain dapat terjadi. Jalur komunikasi antara sistem limbik, pusat emosi dan empati, dengan prefrontal cortex, pusat kendali moral dan rasional adalah kunci pengambilan keputusan yang etis. Bila konektivitas sinaptik di jalur ini terganggu, pesan empati dari otak emosional tidak sampai ke otak rasional.
Etika kepemimpinan menuntut lebih dari sekadar kepatuhan prosedural. Pemimpin sejati adalah mereka yang menjaga Justice (keadilan) dengan menghargai hak semua warga negara tanpa diskriminasi; yang memegang teguh Respect for Autonomy dengan mendengar dan menghargai suara rakyat, meski berasal dari kelompok kecil; yang menjalankan Fidelity (kesetiaan pada amanah) dengan memastikan setiap kebijakan dan ucapan mencerminkan komitmen melayani semua lapisan masyarakat.
Penutup
Kesombongan, dalam bahasa agama, adalah penyakit hati yang membutakan dari kebenaran. Dalam bahasa neurosains adalah cacat konektivitas antara empati dan kontrol moral. Dalam bahasa etika kepemimpinan, adalah pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Pemimpin yang rendah hati tidak takut mendengar kritik, bahkan dari kelompok kecil, karena ia tahu bahwa kebenaran tidak diukur dari jumlah yang menyuarakannya, tetapi dari substansi yang dibawanya. Pemimpin seperti ini mengerti bahwa pertumbuhan ekonomi bukan obat tunggal, dan bahwa legitimasi kekuasaan hanya terjaga jika suara semua warga dihargai.
Pernyataan Menteri Keuangan Purbaya bisa menjadi titik pembelajaran bagi beliau, bagi pejabat lain, dan bagi kita semua. Bahwa ucapan publik adalah cermin jiwa kepemimpinan. Dan cermin itu, jika retak oleh kesombongan, akan memantulkan citra kekuasaan yang kehilangan wajah kemanusiaannya. Pada akhirnya, kekuasaan dan jabatan hanyalah titipan. Ucapan seorang pemimpin adalah cermin isi hatinya. Dalam Islam, kesombongan adalah penyakit hati yang memutus manusia dari kebenaran dan merendahkan martabat sesama.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!